Minggu, 10 Maret 2013

UTANG DAN NILAI TAMBAH


Sekali lagi kita bahas tentang utang. Utang Pemerintah Bertambah Lagi Menjadi Rp 1.979 Triliun. Tapi PDB Indonesia Rp. 8.241 Trilliun. Artinya utang itu bersifat relatif terhadap pendapatan. Ratio Utang terhadap PDB kita saat ini 24%. Berapa ratio yang ideal? Di bawah 60%. Tidak ada negara didunia yang bebas utang. Karena utang adalah juga instrumen moneter. Sekaya apapun suatu negara, tetap butuh instrumen moneter untuk mengendalikan volume uang. Maka negara tetap akan berutang.

Kalau semua negara berutang, siapa yang memberi pinjaman? Rakyat negara itu sendiri tentunya. Sebenarnya tidak ada negara yang kaya, yang ada itu rakyat yang kaya - sehingga negaranya bisa ikut jadi kaya. Yang gila itu kalau negara malah bikin rakyatnya makin miskin. Biasanya kroni di pemerintahan yang jadi makin kaya.

Jadi, uang yang dicetak itu seperti surat utang pemerintah ke rakyat. Selama kita masih menggunakan Rupiah; selama itu pula kita masih meminjamkan kepada pemerintah dan pemerintah berutang. Jadi, kalau pemerintah utangnya nol, warga negaranya pakai mata uang apa? Mata uang negara lain? Berarti meminjamkan ke negara lain.

Setiap pengguna USD secara teoretis adalah memberi utangan kepada pemerintah Amerika. Siapapun itu. Jadi itu sebabnya AS punya utang paling tinggi karena rakyatnya juga paling kaya dan juga karena paling dipercaya warga dunia. Utang di level negara maju bisa sangat besar, karena selain dipinjami warga sendiri, juga dipinjami warga asing.

Bila orang Indonesia makin makmur, apakah dibutuhkan lebih banyak Rupiah? Bila ya, maka utang pemerintah pun makin naik. Pemberi utangan terbesar (70%) kepada Pemerintah Indonesia adalah Warga Indonesia. Saat ini lebih Rp. 4000 Trilliun dana masyarakat di Perbankan, jadi kita sanggup utangin pemerintah 100%, tapi bunga jadi naik. Mau?

Jadi, pemilikan asing atas surat utang Pemerintah punya manfaat menurunkan tingkat suku bunga. Bukankah itu hal yang bagus? Ada yang berpendapat, bunga naik bukannya bagus bagi yang menyimpan uang di bank? Bagus bagi si penyimpan. Disisi lain bunga kredit juga ikut naik, malah jadi beban bagi ekonomi. Dan bunga kredit pasti naik kalau bunga obligasi pemerintah naik.

Secara ekonomi pemerintah = pengutang dan pemajak, bukan pemberi perintah. Bagaimana dengan tuntutan agar pemerintah tak lagi berutang? Utang nol persen? Bisa saja, tapi kemudian warganya akan pakai duit swasta atau duit pemerintah asing. Lha buat apa?

Uang kertas marjin labanya ribuan persen. Modalnya cuma kertas, tinta dan mesin cetak. Enak saja ditulis Rp. 100 ribu per lembar. Saat kita menerima bahwa kertas itu bernilai Rp. 100 ribu, maka saat itulah kita meminjamkan kepada pemerintah. Dan tanpa bunga!

Bagaimana kalau pemerintah mencetak uang Rp 100 ribu sebanyak-banyaknya? Orang akan ragu nilai uang Rp. 100 ribu. Nilai riil jadi mengecil. Ketika uang Rp 100 ribu tidak lagi dipercaya nilainya segitu; maka pemerintah biasanya naikkan lagi angka yang tercetak menjadi Rp 1 juta misalnya. Toh ditulis Rp. 100 ribu atau Rp. 1 juta, ongkosnya tetap sama kan? Bahan bakunya tetap kertas, tinta dan mesin cetak.

Bila pengguna uang makin tidak percaya pada nilai/daya beli uang, maka itulah yang disebut inflasi. Bila dibiarkan akan jadi hyperinflasi. Seperti yang terjadi di Zimbabwe, contoh klasik hyperinflasi. Juga seperti yang dialami Brazil dan Argentina era 1980-an.

---

Sebagai warga negara selain 'meminjamkan' kepada

pemerintah lewat penggunaan uang, kita juga punya kewajiban bayar pajak. Itu

alasan kita harus kritis atas tingkah laku pemerintah - apakah yang dikerjakan

pemerintah membuat kita tambah makmur atau tambah miskin?

Jenis utang yang sehat apa saja? Utang yang bisa memberi

nilai tambah bagi ekonomi. Nilai tambah itu apa? Manfaat lebih dari sumber yang

sama. Contoh: karet versus ban mobil. Mana yang lebih membawa manfaat? Sumber

daya alam nilai tambahnya rendah. Apa anda pernah beli karet 125 kg? Tentu

tidak. Anda belinya ban. Chip komputer dibuat dari Silikon. Bahan baku silikon?

Pasir biasa. Bayangkan perbedaan nilai tambahnya pasir dibanding chip komputer.

Masalah lain lagi: sumber daya alam tunduk pada hukum

ekonomi. Semakin banyak dipasok - harganya semakin jeblok. Masalahnya: produsen

SDA kan bukan cuma Indonesia. Jadi, pasokan bisa cepat sekali membanjir dan

harga jeblok.

Kita negara penghasil emas. Kalau negara lain juga buka

tambang emas dan secara akumulatif memproduksi lebih banyak dari Indonesia -

maka kita akan tekor. Itu sebabnya menurut saya strategi paling masuk akal

adalah penciptaan nilai tambah, bukan sekadar jual mentah.

Bukannya negara yang kaya Sumber Daya

Alam (SDA) juga kaya? Betul, tetapi masalahnya kekayaan itu mengalir ke warga

negaranya atau tidak? Siapa saja yang menikmati kekayaan tersebut? Negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Brunei, dll, kaya

SDA, tapi kekayaan hasil SDA itu mengalirnya ke mana? Ke keluarga kerajaan dan

para ekspatriat. Kekayaan mereka umumnya disimpan di luar negeri. Ketika

kekuasaan mereka berakhir atau ditumbangkan, mereka dengan mudah membawa lari kekayaannya

keluar negeri. Atau malah di rebut oleh negara-negara tempat kekayaan itu disimpan.

Makanya cara berpikir negara akan maju jika punya sumber

daya alam belum tentu benar. Malah menyesatkan. Hong Kong mengimpor semua bahan

makanan, energi, dan bahkan air minum. Tetapi warga Hong Kong 1,5x lebih kaya

daripada warga Arab Saudi. Jepang, Korsel, Taiwan adalah contoh lain di Asia.

Atau Israel di jazirah Arab.

Apa kurangnya Sumber Daya Alam di Afrika? Tapi itu juga

yang membuat Benua itu menjadi miskin, terbelakang, dan korup. Negara Afrika

Selatan yang kaya SDA, kesenjangan ekonominya masuk tertinggi di dunia.

Tapi tidak ada yang berpotensi memberi nilai tambah

lebih besar daripada pemberdayaan manusia. Seorang pemenang Hadiah Nobel,

"bahan baku"-nya sama saja dengan manusia biasa. Tapi terlihat jelas

beda hasilnya.

Penentu kemakmuran sesungguhnya HANYALAH Sumber Daya

Manusia! Kekayaan Sumber Daya Alam cuma akan menciptakan Pemerintahan Tiran dan

Korup, Alam yang rusak, dan Penduduk yang malas.

"Oil is the Devil's Excrement" -- Juan Pablo

Pérez Alfonso (one of OPEC founders). Minyak adalah Tai-nya setan.

“Semoga mereka tidak menemukan minyak disini"

-- kata seorang bapak tua ke Solomon Vandy di film Blood Diamond.



---

Masalah lainnya: untuk mengelola sumber daya alam - juga perlu modal jangka panjang. Lha dari mana? Bisnis di bidang SDA padat modal dan tinggi risiko. Untuk modal saja kita masih kekurangan. Soal risiko? Orang Indonesia penghindar risiko.

Semata karena nggak ada yang mau mengambil resiko. Banyak orang HIPMI kerjanya cuma jualan konsesesi SDA. Tidak mau tangannya kotor. Konsesi SDA di daerah jadi rebutan pengusaha nasional, untuk nantinya di jual lagi ke pihak asing.

Semua pengolahan nilai tambah SDA dilakukan secara terbuka. Tapi kenyataannya? Adalah fakta bahwa orang Indonesia sukanya jualan mentah. Lebih gilanya, bahkan bahan mentah seperti rotan pun diselundupkan ke luar negeri.

Sudah pernah saya bahas dulu, dalam kontrak karya dengan perusahaan tambang asing, biasanya ada kalusul divestasi saham. Prioritas ditawarkan kepada pemerintah.

Dulu sekali, ketika perusahaan tambang tembaga Freeport di Irian melakukan divestasi saham. Hak pemerintah, entah bagaimana caranya, diberikan pada perusahaan Bakrie. Dapat harga diskon dan belinya pakai duit pinjaman. Beberapa waktu kemudian Bakrie menjual saham tersebut ke pihak ketiga. Utang di kembalikan dan memperoleh untung besar. Lalu diam-diam, saham divestasi tadi di beli kembali oleh Freeport dari pihak ketiga itu. Tentang Freeport ini sudah pernah saya bahas disini sebelumnya. Lengkap.

Hal yang sama terjadi ketika divestasi saham perusahaan tambang batu bara KPC milik BP dan Rio Tanto. KPC memiliki pambang batubara terbesar didunia, kini anak perusahaan dari BUMI. Pemerintah seperti biasanya dengan segera kehilangan minat dan kembali Bakrie yang membeli di harga diskon. Modusnya masih sama, pakai dana pinjaman. Segera setelahnya, 30% saham KPC dijual oleh Bakrie ke pada Tata, India. Dengan harga premium tentu saja. Dana hasil penjualan 30% saham ke Tata itu, digunakan untuk membayar utang pembelian seluruh saham KPC sebelumnya. Bakrie kemudian menjadi penguasa KPC dengan modal dengkul. Kasus divestasi saham KPC ini masih meninggalkan perkara hukum dengan pemda setempat hingga sekarang.

Kejadian serupa terjadi lagi ketika divestasi saham perusahaan tambang emas Newmont di NTT. Kembali pemerintah tidak menggunakan hak-nya. Bakrie masuk menggandeng perusahaan daerah. Pemda setempat memperoleh saham tanpa perlu mengeluarkan dana. Bakrie kembali mengulang skenario yang sama. Modal dengkul. Beli pakai dana pinjaman.. Ketika kemudian memperoleh bagian deviden, seluruhnya digunakan untuk pembayar utang. Pemda gigit jari karena semua saham divestasi, termasuk milik pemda telah diagunkan untuk jaminan pinjaman.

Pada tahapan divestasi Newmont terakhir, pemerintah pusat melalui menkeu Agus Martowardojo melawan arus. Tak biasanya, kali ini pemerintah pusat tak melepas haknya. Walau sisa saham divestasi tinggal sedikit, tapi dengan keterwakilan di manajemen menyebabkan pemerintah bisa mengawasi operasional perusahaan dari dalam. Relakah Bakrie? Tentu saja tidak. Kekuatan di parlemen digunakan, BPL dilibatkan. Investasi pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dan besar kemungkinan akan menuai enolakan. Akibatnya Menkeu Agus menjadi bulan-bulan politik. Mungkin itu salah satu sebab beliau akan di pindah menjadi Gubernur BI.

Masih pilih ARB tahun 2014? Duh.

Jadi sebenarnya masalah SDA negeri ini adalah karena terjadinya persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, Kini uang, bukan idealisme, yang mengatur negeri ini. Secara politik negara ini di kuasai oleh para pengusaha dan mereka jelas berorientasi pada keuntungan. Bukannya pemerintah tak memberi kesempatan kepada pengusaha lokal. Mereka hanya ingin mendapat keuntungan secara instan. Kalau bisa mendapat keuntungan tanpa mengotori tangan, mengapa pula harus mencangkul disawah? (Oalah, apakah saya yang trader saham termasuk salah satu dari mereka? Tak ingin tangan kotor? Introspeksi ah).

SDA yang seyogyanya di manfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak sudah lama hanya menjadi slogan. Tidak dilupakan sama sekali, karena masih diperlukan setiap 5 tahun sekali, ketika mereka harus menyapa rakyat disetiap pemilu.

---

Hongkong, Jepang, Singapore itu relatif miskin SDA, mengapa kita harus ikut-ikutan mereka meningkatkan kemampuan SDM padahal aset kita terbesar di SDA? Karena kekayaan itu ada di otak kita bukan di dalam tanah dan kita punya 240 juta otak yang sebagian besar masih miskin. Tapi apakah bisa kalau kita harus bersaing dengan negara lain yang kemampuan otaknya jauh lebih unggul? Jelas bisa. Kita hanya perlu menemukan bidang-bidang dimana kita bisa lebih unggul.

Bila ada potensi Indonesia yang masuk skala dunia - tentunya itu di sisi sektor jasa. Ada pasar yang luar biasa besar. Pasar sektor jasa justru lebih variatif. Untuk jadi baby sitter tidak harus secerdas professor atau sekuat atlet kan? Dalam 10-20 tahun ke depan, populasi manula di negara-negara maju Asia akan meningkat. Jutaan tenaga perawat akan sangat dibutuhkan. Data Kemenkes saat ini kita kekurangan 7200 perawat di seluruh Indonesia. Sementara banyak juga perawat yang memilih bekerja di Jepang.

Tapi ada yang berpendapat, daripada jadi perawat, kenapa orang kita tidak dididik saja jadi nelayan hebat. SDA laut kita kan melimpah tapi malah dicuri nelayan asing.

Barrier of entry untuk jadi nelayan jauh lebih besar daripada jadi perawat. Juga risikonya. Padahal bayarannya lebih kecil. Lembaga pendidikan perawat lebih mudah didirikan secara meluas di seluruh propinsi. Kebutuhannya pun lebih besar. Jutaan.

Himpunan nelayan rentan dikooptasi politik ketimbang profesi keperawatan; menjadikan profesi keperawatan lebih mudah berkembang. Gaji rata-rata seorang perawat di Los Angeles $60-86 ribu (rata-rata $73 ribu/tahun). Setara berapa ton ikan?

Dalam kenyataan: kita miskin SDA. SDA kita tidak ada apa-apanya dibanding Russia, Australia, Afrika Selatan, Brazil, Canada. Dibandingkan China dan bagian Asia-nya Russia - kita kalah. Kalau Australia ikut dihitung kita juga kalah.

Kita sudah sejak beberapa tahun terakhir menjadi negara pengimpor minyak bumi. Sebagian besar APBN dihabiskan untuk subsidi BBM. Tidak produktif dan tak banyak memberi nilai tambah.

Ada sisi kekayaan SDA kita - yaitu di keaneka ragaman hayati (biodiversity). Tapi justru itu yang rusak oleh penambangan dan perkebunan. Ribuan spesies hewan dan tumbuhan di Indonesia hilang tiap tahun, akibat penambangan dan pembukaan lahan perkebunan.

Kalau soal industri kerajinan - memang Indonesia punya masalah serius. Inkonsistensi dan tidak mampu membuat skala besar. Banyak dari mereka masih berupa industri kecil. Sementara industri kecil kita kekurangan modal, baik finansial maupun manajemen keuangan. Banyak yang bikin Business Plan saja nggak bisa.

Mengapa malah Cina yang tak punya rotan jadi pemasok furniture rotan ke berbagai negara? Mengapa bukan kita? Karena kita malas, kurang modal, kurang sabar, atau gabungan ketiganya.

---

Jadi, seharusnya semua di mulai dari SDM dulu. Tahukan anda, sebelum merdeka, Amerika pengimpor buku terbesar dari Eropa? Muara semua kegiatan produksi dalam ekonomi adalah manusia. SDM jauh lebih penting dari pada SDA.

Mantan Presiden Habibie sudah menyadari hal ini sejak lama. Beliau pernah membandingkan nilai tambah satelit vs beras. Ilustrasi Habibie: harga satu satelit $90 Juta. Setara dengan 150 ribu ton beras. Kita mau produksi yang mana? Kalau pilihannya satelit, kita perlu SDM yang mumpuni.

Pada waktu diskusi di Citos sambil ngopi kemaren, kami membahas bisnis pabrik baja. Maklum beberapa teman kini bekerja di proyek pabrik baja di Cilegon. Sejak dahulu kita fokus pada pabrik baja karbon (Carbon Steel / CS). Alasannya karena banyak digunakan didalam negeri. Padahal kita bukan penghasil biji besi. Bahan baku baja karbon tersebut sebagian di impor dari China.

Padahal nilai tambah baja karbon kecil sekali. Baja yang mahal adalah baja campuran (alloy steel), seperti stainless steel yang digunakan di pabrik-pabrik petrokimia. Tehnologinya lebih tinggi, tapi bukan tak bisa di kuasai. Nilai tambahnya jauh lebih besar.

Padahal, tahukah anda, bahwa kita sesungguhnya negara penghasil logam capuran untuk alloy steel tersebut. Bumi kita menghasilkan nikel, mangan, timah, tembaga, dll, beberapa diantaranya termasuk paling besar di dunia. Tapi kita mengekspor seluruh hasilnya dalam bentuk bahan mentah dan kemudian mengimpor produk jadi alloy steel dengan harga sangat mahal.

Lalu disektor mana saja kita sebaiknya fokus?

Tulisan lama di majalah The Economist - hanya ada 4 sektor yang alokasi pengeluaran terus bertambah: seni, informasi, pendidikan dan kesehatan. Jadi, keempat sektor dengan alokasi yang terus bertambah adalah sektor jasa. Itu adalah pasar masa depan sesungguhnya.

Sebagai warga negara selain 'meminjamkan' kepada

pemerintah lewat penggunaan uang, kita juga punya kewajiban bayar pajak. Itu

alasan kita harus kritis atas tingkah laku pemerintah - apakah yang dikerjakan

pemerintah membuat kita tambah makmur atau tambah miskin?

Jenis utang yang sehat apa saja? Utang yang bisa memberi

nilai tambah bagi ekonomi. Nilai tambah itu apa? Manfaat lebih dari sumber yang

sama. Contoh: karet versus ban mobil. Mana yang lebih membawa manfaat? Sumber

daya alam nilai tambahnya rendah. Apa anda pernah beli karet 125 kg? Tentu

tidak. Anda belinya ban. Chip komputer dibuat dari Silikon. Bahan baku silikon?

Pasir biasa. Bayangkan perbedaan nilai tambahnya pasir dibanding chip komputer.

Masalah lain lagi: sumber daya alam tunduk pada hukum

ekonomi. Semakin banyak dipasok - harganya semakin jeblok. Masalahnya: produsen

SDA kan bukan cuma Indonesia. Jadi, pasokan bisa cepat sekali membanjir dan

harga jeblok.

Kita negara penghasil emas. Kalau negara lain juga buka

tambang emas dan secara akumulatif memproduksi lebih banyak dari Indonesia -

maka kita akan tekor. Itu sebabnya menurut saya strategi paling masuk akal

adalah penciptaan nilai tambah, bukan sekadar jual mentah.

Bukannya negara yang kaya Sumber Daya

Alam (SDA) juga kaya? Betul, tetapi masalahnya kekayaan itu mengalir ke warga

negaranya atau tidak? Siapa saja yang menikmati kekayaan tersebut? Negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Brunei, dll, kaya

SDA, tapi kekayaan hasil SDA itu mengalirnya ke mana? Ke keluarga kerajaan dan

para ekspatriat. Kekayaan mereka umumnya disimpan di luar negeri. Ketika

kekuasaan mereka berakhir atau ditumbangkan, mereka dengan mudah membawa lari kekayaannya

keluar negeri. Atau malah di rebut oleh negara-negara tempat kekayaan itu disimpan.

Makanya cara berpikir negara akan maju jika punya sumber

daya alam belum tentu benar. Malah menyesatkan. Hong Kong mengimpor semua bahan

makanan, energi, dan bahkan air minum. Tetapi warga Hong Kong 1,5x lebih kaya

daripada warga Arab Saudi. Jepang, Korsel, Taiwan adalah contoh lain di Asia.

Atau Israel di jazirah Arab.

Apa kurangnya Sumber Daya Alam di Afrika? Tapi itu juga

yang membuat Benua itu menjadi miskin, terbelakang, dan korup. Negara Afrika

Selatan yang kaya SDA, kesenjangan ekonominya masuk tertinggi di dunia.

Tapi tidak ada yang berpotensi memberi nilai tambah

lebih besar daripada pemberdayaan manusia. Seorang pemenang Hadiah Nobel,

"bahan baku"-nya sama saja dengan manusia biasa. Tapi terlihat jelas

beda hasilnya.

Penentu kemakmuran sesungguhnya HANYALAH Sumber Daya

Manusia! Kekayaan Sumber Daya Alam cuma akan menciptakan Pemerintahan Tiran dan

Korup, Alam yang rusak, dan Penduduk yang malas.

"Oil is the Devil's Excrement" -- Juan Pablo

Pérez Alfonso (one of OPEC founders). Minyak adalah Tai-nya setan.

“Semoga mereka tidak menemukan minyak disini"

-- kata seorang bapak tua ke Solomon Vandy di film Blood Diamond.



---

Masalah lainnya: untuk mengelola sumber daya alam - juga perlu modal jangka panjang. Lha dari mana? Bisnis di bidang SDA padat modal dan tinggi risiko. Untuk modal saja kita masih kekurangan. Soal risiko? Orang Indonesia penghindar risiko.

Semata karena nggak ada yang mau mengambil resiko. Banyak orang HIPMI kerjanya cuma jualan konsesesi SDA. Tidak mau tangannya kotor. Konsesi SDA di daerah jadi rebutan pengusaha nasional, untuk nantinya di jual lagi ke pihak asing.

Semua pengolahan nilai tambah SDA dilakukan secara terbuka. Tapi kenyataannya? Adalah fakta bahwa orang Indonesia sukanya jualan mentah. Lebih gilanya, bahkan bahan mentah seperti rotan pun diselundupkan ke luar negeri.

Sudah pernah saya bahas dulu, dalam kontrak karya dengan perusahaan tambang asing, biasanya ada kalusul divestasi saham. Prioritas ditawarkan kepada pemerintah.

Dulu sekali, ketika perusahaan tambang tembaga Freeport di Irian melakukan divestasi saham. Hak pemerintah, entah bagaimana caranya, diberikan pada perusahaan Bakrie. Dapat harga diskon dan belinya pakai duit pinjaman. Beberapa waktu kemudian Bakrie menjual saham tersebut ke pihak ketiga. Utang di kembalikan dan memperoleh untung besar. Lalu diam-diam, saham divestasi tadi di beli kembali oleh Freeport dari pihak ketiga itu. Tentang Freeport ini sudah pernah saya bahas disini sebelumnya. Lengkap.

Hal yang sama terjadi ketika divestasi saham perusahaan tambang batu bara KPC milik BP dan Rio Tanto. KPC memiliki pambang batubara terbesar didunia, kini anak perusahaan dari BUMI. Pemerintah seperti biasanya dengan segera kehilangan minat dan kembali Bakrie yang membeli di harga diskon. Modusnya masih sama, pakai dana pinjaman. Segera setelahnya, 30% saham KPC dijual oleh Bakrie ke pada Tata, India. Dengan harga premium tentu saja. Dana hasil penjualan 30% saham ke Tata itu, digunakan untuk membayar utang pembelian seluruh saham KPC sebelumnya. Bakrie kemudian menjadi penguasa KPC dengan modal dengkul. Kasus divestasi saham KPC ini masih meninggalkan perkara hukum dengan pemda setempat hingga sekarang.

Kejadian serupa terjadi lagi ketika divestasi saham perusahaan tambang emas Newmont di NTT. Kembali pemerintah tidak menggunakan hak-nya. Bakrie masuk menggandeng perusahaan daerah. Pemda setempat memperoleh saham tanpa perlu mengeluarkan dana. Bakrie kembali mengulang skenario yang sama. Modal dengkul. Beli pakai dana pinjaman.. Ketika kemudian memperoleh bagian deviden, seluruhnya digunakan untuk pembayar utang. Pemda gigit jari karena semua saham divestasi, termasuk milik pemda telah diagunkan untuk jaminan pinjaman.

Pada tahapan divestasi Newmont terakhir, pemerintah pusat melalui menkeu Agus Martowardojo melawan arus. Tak biasanya, kali ini pemerintah pusat tak melepas haknya. Walau sisa saham divestasi tinggal sedikit, tapi dengan keterwakilan di manajemen menyebabkan pemerintah bisa mengawasi operasional perusahaan dari dalam. Relakah Bakrie? Tentu saja tidak. Kekuatan di parlemen digunakan, BPL dilibatkan. Investasi pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dan besar kemungkinan akan menuai enolakan. Akibatnya Menkeu Agus menjadi bulan-bulan politik. Mungkin itu salah satu sebab beliau akan di pindah menjadi Gubernur BI.

Masih pilih ARB tahun 2014? Duh.

Jadi sebenarnya masalah SDA negeri ini adalah karena terjadinya persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, Kini uang, bukan idealisme, yang mengatur negeri ini. Secara politik negara ini di kuasai oleh para pengusaha dan mereka jelas berorientasi pada keuntungan. Bukannya pemerintah tak memberi kesempatan kepada pengusaha lokal. Mereka hanya ingin mendapat keuntungan secara instan. Kalau bisa mendapat keuntungan tanpa mengotori tangan, mengapa pula harus mencangkul disawah? (Oalah, apakah saya yang trader saham termasuk salah satu dari mereka? Tak ingin tangan kotor? Introspeksi ah).

SDA yang seyogyanya di manfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak sudah lama hanya menjadi slogan. Tidak dilupakan sama sekali, karena masih diperlukan setiap 5 tahun sekali, ketika mereka harus menyapa rakyat disetiap pemilu.

---

Hongkong, Jepang, Singapore itu relatif miskin SDA, mengapa kita harus ikut-ikutan mereka meningkatkan kemampuan SDM padahal aset kita terbesar di SDA? Karena kekayaan itu ada di otak kita bukan di dalam tanah dan kita punya 240 juta otak yang sebagian besar masih miskin. Tapi apakah bisa kalau kita harus bersaing dengan negara lain yang kemampuan otaknya jauh lebih unggul? Jelas bisa. Kita hanya perlu menemukan bidang-bidang dimana kita bisa lebih unggul.

Bila ada potensi Indonesia yang masuk skala dunia - tentunya itu di sisi sektor jasa. Ada pasar yang luar biasa besar. Pasar sektor jasa justru lebih variatif. Untuk jadi baby sitter tidak harus secerdas professor atau sekuat atlet kan? Dalam 10-20 tahun ke depan, populasi manula di negara-negara maju Asia akan meningkat. Jutaan tenaga perawat akan sangat dibutuhkan. Data Kemenkes saat ini kita kekurangan 7200 perawat di seluruh Indonesia. Sementara banyak juga perawat yang memilih bekerja di Jepang.

Tapi ada yang berpendapat, daripada jadi perawat, kenapa orang kita tidak dididik saja jadi nelayan hebat. SDA laut kita kan melimpah tapi malah dicuri nelayan asing.

Barrier of entry untuk jadi nelayan jauh lebih besar daripada jadi perawat. Juga risikonya. Padahal bayarannya lebih kecil. Lembaga pendidikan perawat lebih mudah didirikan secara meluas di seluruh propinsi. Kebutuhannya pun lebih besar. Jutaan.

Himpunan nelayan rentan dikooptasi politik ketimbang profesi keperawatan; menjadikan profesi keperawatan lebih mudah berkembang. Gaji rata-rata seorang perawat di Los Angeles $60-86 ribu (rata-rata $73 ribu/tahun). Setara berapa ton ikan?

Dalam kenyataan: kita miskin SDA. SDA kita tidak ada apa-apanya dibanding Russia, Australia, Afrika Selatan, Brazil, Canada. Dibandingkan China dan bagian Asia-nya Russia - kita kalah. Kalau Australia ikut dihitung kita juga kalah.

Kita sudah sejak beberapa tahun terakhir menjadi negara pengimpor minyak bumi. Sebagian besar APBN dihabiskan untuk subsidi BBM. Tidak produktif dan tak banyak memberi nilai tambah.

Ada sisi kekayaan SDA kita - yaitu di keaneka ragaman hayati (biodiversity). Tapi justru itu yang rusak oleh penambangan dan perkebunan. Ribuan spesies hewan dan tumbuhan di Indonesia hilang tiap tahun, akibat penambangan dan pembukaan lahan perkebunan.

Kalau soal industri kerajinan - memang Indonesia punya masalah serius. Inkonsistensi dan tidak mampu membuat skala besar. Banyak dari mereka masih berupa industri kecil. Sementara industri kecil kita kekurangan modal, baik finansial maupun manajemen keuangan. Banyak yang bikin Business Plan saja nggak bisa.

Mengapa malah Cina yang tak punya rotan jadi pemasok furniture rotan ke berbagai negara? Mengapa bukan kita? Karena kita malas, kurang modal, kurang sabar, atau gabungan ketiganya.

---

Jadi, seharusnya semua di mulai dari SDM dulu. Tahukan anda, sebelum merdeka, Amerika pengimpor buku terbesar dari Eropa? Muara semua kegiatan produksi dalam ekonomi adalah manusia. SDM jauh lebih penting dari pada SDA.

Mantan Presiden Habibie sudah menyadari hal ini sejak lama. Beliau pernah membandingkan nilai tambah satelit vs beras. Ilustrasi Habibie: harga satu satelit $90 Juta. Setara dengan 150 ribu ton beras. Kita mau produksi yang mana? Kalau pilihannya satelit, kita perlu SDM yang mumpuni.

Pada waktu diskusi di Citos sambil ngopi kemaren, kami membahas bisnis pabrik baja. Maklum beberapa teman kini bekerja di proyek pabrik baja di Cilegon. Sejak dahulu kita fokus pada pabrik baja karbon (Carbon Steel / CS). Alasannya karena banyak digunakan didalam negeri. Padahal kita bukan penghasil biji besi. Bahan baku baja karbon tersebut sebagian di impor dari China.

Padahal nilai tambah baja karbon kecil sekali. Baja yang mahal adalah baja campuran (alloy steel), seperti stainless steel yang digunakan di pabrik-pabrik petrokimia. Tehnologinya lebih tinggi, tapi bukan tak bisa di kuasai. Nilai tambahnya jauh lebih besar.

Padahal, tahukah anda, bahwa kita sesungguhnya negara penghasil logam capuran untuk alloy steel tersebut. Bumi kita menghasilkan nikel, mangan, timah, tembaga, dll, beberapa diantaranya termasuk paling besar di dunia. Tapi kita mengekspor seluruh hasilnya dalam bentuk bahan mentah dan kemudian mengimpor produk jadi alloy steel dengan harga sangat mahal.

Lalu disektor mana saja kita sebaiknya fokus?

Tulisan lama di majalah The Economist - hanya ada 4 sektor yang alokasi pengeluaran terus bertambah: seni, informasi, pendidikan dan kesehatan. Jadi, keempat sektor dengan alokasi yang terus bertambah adalah sektor jasa. Itu adalah pasar masa depan sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar