Jumat, 06 Maret 2015

Hukuman Mati


Di satu tempat belasan orang berusaha menyelamatkan hidup satu orang, di tempat lain satu orang berusaha menghilangkan hidup ribuan orang lain. Kehidupan yang rumit.

Begitu pula dengan huluman mati. Sebagian orang setuju sebagian lainnya menolak. Ketika ada orang Indonesia yang duhukum mati di negeri orang, hati saya bergolak lakukan pembelaan. Tapi ketika seorang gembong narkotika di hukum mati di negeri sendiri, saya cenderung menyetujui. Bukan karena saya setuju hukuman mati, tapi karena dampak dari narkotika itu yang bisa merusak generasi muda bangsa ini. Ketika peredaran narkotika sudah mencapai taraf membahayakan, huluman mati diharapkan bisa menjadi peringatan bagi bandar/pengedar narkotika untuk tidak lagi coba-coba berbisnis disini. Setujukah saya dengan hukuman mati? Hati kecil saya cenderung menolak. Bukan ditangan kita seharusnya hidup mati orang lain. Jika lakukan kesalahan, sebesar apapun, bukankah selalu ada pintu maaf? Tuhan juga memaafkan orang-orang yang bertaubat. Dan seorang teman mengatakan bahwa hukuman mati menghilangkan fungsi hukuman itu sendiri, membuat jera.

Saya penggemar cerita konspirasi, tapi saya tidak percaya kalau ada negara yang sengaja lakukan konspirasi narkotika terhadap negara lain untuk tujuan-tujuan politik. Hampir semua negara di dunia mengalami permasalahan dengan peredaran narkotika dinegaranya sendiri, sehingga umumnya canangkan perang terhadap narkotika. Tapi saya percaya kalau ada konspirasi mafia narkotika dunia yang menyasar Indonesia. Motifnya tentu saja keuntungan menggiurkan yang bisa diperoleh, mengingat konsumennya lumayan banyak dan aparat penegak hukum kita lemah.

Penerapan hukuman mati terhadap bandar/penyelundup narkotika sebenarnya menegaskan kelemahan kita. Hukuman mati hanyalah pengalihan dari masalah sebenarnya: hukum dan peradilan kita berantakan serta penjara kita diurus para bajingan. Bahkan seorang bandar narkotika masih bisa mengendalikan bisnisnya dari dalam penjara.

Coba dihitung kembali, berapa banyak polisi, jaksa, dan bahkan hakim agung - terjerat narkotika? Apa masih kurang busuknya peradilan kita? Pada peradilan sebusuk itu kita hendak menggantungkan nasib orang? Pada bentuk hukuman yang mustahil bisa dikoreksi?

Hukuman mati selalu bisa digantikan dengan hukuman yang lebih konstruktif: Rampas kemerdekaannya, tapi jangan rampas nyawanya. Pemberlakuan dan pelaksanaan hukuman mati telah memberi ilusi bahwa kita telah bertindak "benar"; padahal akar masalah tak tersentuh. Saat ini, sekitar 229 warga Indonesia terancam hukuman mati di luar negeri. Kita punya posisi moral apa lagi untuk membela mereka? Untuk setiap jatuhnya korban kecanduan narkotika, ada keluarga dan lingkungan yang patut ikut bertanggung jawab mengawasi. Di mana mereka? Dimana orang tua, guru, pemuka masyarakat, alim ulama, media, dll, yang seharusnya bisa berperan dalam mengurangi laju peredaran narkotika di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar