Jumat, 06 Maret 2015

Kromosom

Sampai tahun 1955 (satu dari sekian banyak fakta yang diyakini ilmuwan saat itu), semua sepakat bahwa manusia memiliki 24 pasang kromosom. Pengetahuan itu didasarkan penemuan Theophilus Painter (orang Texas) tahun 1921 yang meneliti testis 3 orang yang dikebiri atas permintaan sendiri. Painter mencoba menghitung serabut-serabut kusut dari kromosom-kromosom haploid (tidak berpasangan) yang tampak dalam spermatosit. Dan dia mendapatkan angka: 24.

Beberapa ilmuwan lain mengulang eksperimen Painter, dengan berbagai cara berbeda. Semua sepakat bahwa jumlah kromosom dalam testis manusia: 24. Selama lebih dari 30 tahun, tak seorangpun yang membantah kromosom manusia ada 24, begitu besar keyakinan orang kepada 'kebenaran' itu. Sampai-sampai ada sekelompok ilmuwan yang menghentikan eksperimen mereka terhadap sel-sel hati manusia, gara-gara mereka hanya temukan 23 pasang kromosom pada tiap sel.

Baru pada tahun 1955, Joe Hin Tjio (orang asal Cirebon yang bermukim di Spanyol) meneliti bermitra dengan Albert Levan (Swedia), kebenaran terungkap. Duet Tjio-Levan lah yang pertama kali membuka mata kita bahwa ternyata kromosom manusia terdiri dari 23 pasang, bukan 24. Bagaimana ceritanya?

Diantara sesama primata, manusia punya perkecualian. Beda paling jelas kita dan kera-kera besar lain: kita punya kekurangan sepasang kromosom. Memang agak mengejutkan ketika ternyata kromosom manusia tidak 24 pasang. Padahal simpanse, gorilla dan orang utan miliki 24 pasang kromosom.

Alasannya bukan karena sepasang kromosom itu tiba-tiba hilang, tapi karena ada 2 pasang kromosom kera besar lain yang bergabung jadi satu pada kromosom manusia. Kromosom 2 ( kedua terbesar) manusia dibentuk oleh gabungan 2 kromosom (ukuran sedang) kera besar. Terlihat dari pola pita-pita hitam kromosom tersebut.

Pada tanggal 22 oktober 1996 ada pernyataan menarik dari Paus Yohanes Paulus II sehubungan dengan evolusi manusia. Pope John Paul II: "ada diskontinuitas ontologis antara kera purba dan manusia modern, ketika Allah tiupkan ruh ke sosok yang semula turunan hewan."

Dengan pernyataan Paus tersebut, bisa dibilang pada tanggal 22 Oktober 1996 itu secara resmi gereja Katolik mulai bisa menerima teori evolusi. Eh tapi saya tidak ingin membahas lebih jauh tentang pernyataan Paus Yohanes Paulus II sehubungan dengan teori evolusi.

Spesies manusia bukanlah puncak evolusi. Evolusi tidak mempunyai puncak dan yang disebut kemajuan evolusioner itu tidak pernah ada. Bahkan dari sudut pandang biologi, tidak ada satu spesies yang lebih penting ketimbang spesies lain, semua ada karena proses evolusi berjalan.

Dari sudut pandang biologi, spesies manusia tidak lebih penting dari bengkoang. Ya tentu saja kebanyakan manusia lebih mementingkan dirinya. Seleksi alam hanyalah proses ketika bentuk-bentuk kehidupan berubah untuk menyesuaikan diri dengan seabrek peluang yang disediakan oleh lingkungan sekitar.

Secara ekologi, manusia adalah sebuah kisah sukses. Manusia adalah hewan besar paling berlimpah di planet bumi ini. Seluruhnya ada 7 milyar lebih. Kalau semua manusia yang hidup di bumi saat ini ditumpuk, akan setara dengan sekitar 350 juta ton biomassa. Jumlah yang sangat besar.

Jumlah bobot hewan besar lain yang bisa menyaingi atau melebihi jumlah itu adalah spesies-spesies yang telah kita jinakkan (sapi, ayam, kambing). Kontras dengan populasi manusia, gorilla di dunia sekarang tidak sampai 1000, bahkan sebelum kita mulai membantai mereka jumlah mereka tak sampai 10 ribu ekor.

Nah ternyata banyaknya jumlah kromosom tidak menentukan sehebat apa satu spesies dapat menyiasati seleksi alam. Salah satu buktinya ya ini, kita yang berkromosom 23 pasang, jelas-jelas punya banyak keunggulan dari kera-kera lain saudara kita yang punya 24 pasang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar