Selasa, 14 April 2015

Perbandingan Antara Sufisme dan Taoisme


Buku yang menarik: Sufism & Taoism – A Comparative Study of Key Philosophical Concepts by Toshihiko Izutsu. Perbandingan antara sufisme Ibn 'Arabi dan Taoisme.

Titik temu antara agama-agama lebih mudah ditemukan pada tradisi mistik/sufisme masing-masing agama. Kenapa demikian? Karena sufisme atau mistik bisa dianggap sebagai saripati semua agama.

Inti mistisisme/tasawwuf ada pada tiga konsep utama: takhalli, tajalli, tahalli.

- Takhalli (تخلى) intinya adalah membersihkan diri dari dorongan2 primitif yang destruktif pada manusia. Pembersihan diri (تهذيب النفوس).

- Tajalli (تجلى) adalah suatu keadaan spiritual di mana seseorang merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih. Suatu "revelation".

- Tahalli (تحلى) adalah tindakan "mimikri" atau peniruan terhadap Tuhan dengan cara menginternalisasi sifat2Nya. Intinya: akhlak yg baik, etika.

Teologi membedakan antara agama-agama. Mistisisme/tasawwuf menyatukan mereka. Kita butuh dua-duanya. Kita butuh dua hal sekaligus: perbedaan dan kesamaan, "la différence" dan "la ressemblance".

Menekankan perbedaan terus-menerus antar agama bisa menimbulkan konflik dan ketegangan sosial. Tidak sehat. Tetapi menekankan kesamaan secara berlebihan juga tidak baik, sebab akan menghilangkan identitas yang akan memperkaya keragaman. "Berbeda" dan "mencari kesamaan" sama pentingnya. Perbedaan memungkinkan dialog. Tapi dialog tak mungkin tanpa ada titik temu.

Ibn 'Arabi mungkin bisa dianggap sebagai puncak artikulasi spiritualitas dalam Islam. Membaca ide-idenya seperti menyelami inti agama. Dalam pemikiran Ibn 'Arabi, semua elemen dalam agama didudukkan secara proporsional: syariat, tarekat dan haqiqat. Ketiganya penting.

Ada tiga dasar penting dalam beragama dalam pandangan Ibn 'Arabi, yaitu Teks (Quran/hadis), akal dan intuisi. Dalam beragama, kata Ibn 'Arabi, jika tekanan berlebihan diletakkan pada akal, maka yang muncul adalah tanzih, mengosongkan Tuhan dalam abstraksi. Tuhan yang terlalu diabstraksikan melalui rasio tak akan menyentuh hati manusia, tak mempunyai daya gerak untuk melahirkan suatu praksis.

Sebaliknya, kata Ibn 'Arabi lagi, jika menekankan intuisi berlebihan, yang muncul adalah tasybih, atau materialisasi atas konsep Tuhan. Beragama yang seimbang, dalam pandangan Ibn 'Arabi, adalah kombinasi antara teks, akal dan intuisi.

Sayang sekali Ibn 'Arabi kurang diminati dalam kajian-kajian keislaman yang berkembang di masyarakat Islam saat ini. Andai gagasan Ibn 'Arabi dominan dalam pengajaran Islam sekagang, sudah pasti warna Islam akan beda: lebih spiritual dan damai. Solusi bagi dunia Islam sekarang ini bukan khilafah, tapi tasawwuf.

Seorang sufi adalah mereka yang digambarkan oleh Quran sebagai "tak memiliki rasa cemas dan ketakutan" (لا خوف عليهم ولا هم يحزنون). Problem besar pada manusia, terutama di era modern, adalah kecemasan, "anxiety", atau "angst" (خوف). Sumber-sumber kecemasan sangat banyak, bisa ekonomi, politik, keamanan, dll. Rasa cemas jelas destruktif, baik secara individual atau sosial. Solusi sufi atas kecemasan adalah satu: yaitu hidup yang "god-centered", hidup yang berorientasi pada tujuan final yang mutlak: Tuhan.

Masalah akut yang kita hadapi di dunia modern ini adalah: disorientasi, kehilangan arah karena gempuran "simulacra" dari segala arah. Simulacra (bentuk jamak dari "simulacrum") dalam pengertian sufi adalah "al-aghyar" (الاغيار) -- segala hal selain Tuhan. Secara harafiah, "simulacrum" adalah tiruan yang sudah kehilangan orisinalitas. Benda KW, istilahnya. Simulacrum-lah yang kerap membuat manusia mengalami alienasi dan disorientasi. Dari sanalah bermula kecemasan.

Pelajaran penting dari sufisme, antara lain, adalah kesadaran bukan saja tentang kesatuan manusia dan Tuhan, tetapi juga kesatuan wujud. Segala wujud di alam raya ini saling terkait satu dengan lainnya dalam "the union of being". Manusia, binatang, tumbuhan dan alam bersaudara. Tuhan hadir dalam segala wujud, entah wujud berkesadaran (the sentient being) atau yang tak berkesadaran.

Karena Tuhan ada di mana-mana, maka kita harus menghormati segala wujud. Kita tak boleh bertindak sembrono. Kita tak boleh memandang "yang lain" semata-mata sebagai obyek eksploitasi, sebab Tuhan hadir juga di dalam "yang lain" itu. Itulah inti dari cara pandang yang "god-centered". Kemanapun kita memandang, di situ ada Tuhan. (فاينما تولوا فثم وجه الله).

Ada yang bilang bahwa ajaran sufi terlalu elitis dan rumit buat orang awam. Keliru. Sama sekali keliru. Karakter asli bangsa Indonesia sebetulnya adalah spiritualistik. Sebab tradisi spriritualitas ada di semua daerah di Indonesia. Mengajarkan mistik/sufisme kepada masyarakat umum justru sangat gampang. Masalahnya, ada ketakutan pada tasawwuf sejak dulu.

Tasawwuf dianggap akan mengajak orang meninggalkan syariat atau jalan eksoterik. Ini anggapan keliru. Tasawwuf justru memperdalam pengertian orang beriman akan syariat. Dengan tasawwuf, seseorang menjalani syariat, bukan menyembah syariat.

Ada juga anggapan bahwa tasawwuf membuat orang meninggalkan dunia, sibuk dengan meditasi. Ini juga anggapan keliru. Tasawwuf bukan berarti "resignation", mengundurkan diri dari dunia, melainkan menceburkan diri di dunia tapi tetap "ingat Allah". Agama yang dipahami secara tidak sufistik bisa membuat bangsa Indonesia lupa jati dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar