Kamis, 13 November 2014

Mengapa Rupiah Melemah? (2)


Studi DBS Asian Insights terbaru memberikan rekomendasi solusi masalah Rupiah ini. Coba perhatikan grafik di bagian bawah tulisan ini. Ada tiga jurus. Jurus ketiga: Benahi Sektor Manufaktur sudah saya bahas tadi. Bahwa kalau manufaktur kuat - maka rupiah melemah justru jadi peluang.

Kalau tadi saya bahas ekspor bahan mentah menyedihkan - maka keadaan pada jurus pertama lebih menyedihkan lagi: Defsit Migas. Coba kita gambar ini: Produksi Minyak Indonesia turun terus, sementara konsumsinya naik terus. Terlihat jelas, terakhir kali konsumsi minyak kita setara produksi kita adalah tahun 2002. Jadi 12 tahun lalu. Saat AADC diputar. Sejak saat itu selisih produksi dan konsumsi terus melebar. Posisi terakhir, selisih produksi dan konsumsi adalah 714 ribu barrel/hari.

Kenapa produksi migas kita menurun terus?. Karena kurang modal. Modal kerja Pertamina nyaris ludes hanya buat impor. Sebagai gambaran lebarnya defisit Migas ini - Pertamina SETIAP HARI rata-rata menghabiskan USD 150 Juta hanya untuk mengimpor minyak. Sementara pendapatan dari penjualan minyak semakin lama makin sedikit. Jauh di bawah USD 150 Juta/hari. Masih heran Rupiah melemah?

Defisit Migas Indonesia di 2013 mencapai USD 9,7 Miliar. Berarti duit keluar lebih banyak daripada duit masuk. Tekor. Tekornya neraca migas ini dibayar pakai apa? Pakai penerimaan pajak dan UTANG Negara. Tapi kita tahu pajak selalu gagal mencapai sasaran. Kalau pajak nggak mencapai target - maka menjadi cukup jelas bahwa defisit migas ini telah ditutupi oleh UTANG negara. Jadi Indonesia sudah sampai berutang untuk bisa membiayai konsumsi BBM? Ya BENAR saudara. Mestinya utang digunakan untuk yang produktif/infrastruktur jangka panjang. Bukan untuk biaya rutin dan subsidi. Runyam ini.

Dan kontribusi konsumsi BBM yang berlebihan itu adalah Subsidi. Lihat di gambar pergerakannya. Porsi subsidi BBM sudah mencapai 25-30% anggaran Pemerintah Pusat. Si Oneng keliru waktu bilang angkanya cuma 15%. Kenapa? Mungkin Rieke lupa, bahwa dalam APBN ada jatahnya Pemda dan juga ada Anggaran Pendidikan 20% yang nggak bisa diganggu gugat. Alhasil, Subsidi BBM itu diambil dari porsi SISA jatah daerah (dana perimbangan) dan Dana Pendidikan. Maka 25-30% itu berat banget. Mungkin lebih gampang kalau jatah Pemda dibabat dan Alokasi Pendidikan dipangkas untuk biayai Subsidi BBM. Tapi itu melanggar UU. Itu yang jarang diperhatikan orang, bahwa APBN memang sudah dikunci di beberapa Pos Wajib.

Itu sebabnya kalau dibilang Subsidi BBM sudah sangat berat - karena posnya sangat rakus. Memakan antara 25-30% anggaran Pemerintah Pusat. Neraca amburadul soal Migas ini yang "menyandera" nilai tukar Rupiah. Apesnya, manufaktur kita tak bisa manfaatkan ini. Kurang modal.

Itu sebabnya tiga jurus harus dilaksanakan sekaligus, karena keadaan sudah kadung ruwet. Dengan perbaikan produksi migas, memangkas subsidi BBM dan membenahi manufaktur - maka defisit transaksi berjalan bisa dinormalkan.

Begitulah keadaan kita. Defisit transaksi berjalan masih di 4,2% PDB. Normalnya di 2%. Maka selama itu lah Rupiah jadi bulan-bulanan. Harga minyak dunia akhir-akhir ini turun pun nggak banyak efeknya, karena posisi Migas kita Defisit. Selisihnya 714 ribu barrel PER HARI!

"Kan berarti biaya impor minyak kita menurun kalau harga minyak turun?" Iya, tapi pendapatan minyak Indonesia kan juga turun. Yo Podo bae. Maka menjadi lucu tapi sekaligus bikin kesel, saat para politisi belagak pintar bicara soal harga minyak dunia yang turun.

Konsumsi BBM Indonesia dibayar pakai produksi minyak mentah Indonesia, dan masih TEKOR 714 ribu barrel. Bagaimana cerita subsidi bisa turun?. Mudah-mudahan setelah baca penjelasan diatas, kita jadi paham masalahnya ada di mana, dan bagaimana menyelesaikannya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar