Kamis, 13 November 2014

Mengapa Rupiah Melemah? (1)


Sore kemarin nilai tukar USD berada di sekitar Rp. 12155 pada penutupan sore hari. Pertanyaan klasik: Mengapa Rupiah melemah?. Padahal secara teoritis berdasarkan paritas daya beli (PPP) harga USD hanyalah sekitar Rp. 6500. Lalu mengapa beda jauh?.

Jawabannya memang kompleks. Selama 3 bulan terakhir misalnya, USD telah menguat sekitar 7-8% terhadap keranjang mata uang dunia. Jadi, sebenarnya wajar mata uang Rupiah akhir-akhir ini dalam tekanan. Toh mata uang hampir seluruh dunia juga melemah.

Tapi jadi pertanyaan: mengapa tahun lalu saat mata uang global relatif datar - mengapa rupiah jeblok? Pasti bukan karena Dollar menguat kan?. Berarti ada faktor yang berlaku tahun ini dan tahun lalu - yang mendorong Rupiah selalu gagal menguat. Tertarik? Akan saya bahas.

Kunci selalu gagal menguatnya Rupiah ada pada neraca transaksi berjalan. Bila belanja kita tekor, maka wajar rupiah kita lemah. Nggak semua negara sedih kalau mata uangnya melemah. Ada negara yang malah senang kalau mata uangnya melemah. Contoh klasik: Jepang.

Ekonomi Jepang justru bergairah kalau Yen melemah. Apa alasannya? Karena ekspor mereka menjadi lebih kompetitif. Jualannya laku. Dan biasanya, Korea juga cemas kalau Yen Jepang melemah. Mengapa? Karena Jepang pesaing terdekat dengan segmen pasar berimpitan. Maka, biasanya Yen Jepang dan Won Korea bergerak beriringan, karena Bank Sentral keduanya saling mengawasi mata uang yang lain.

Masalahnya, apa produk yang diekspor Indonesia? Ternyata kebanyakan adalah bahan mentah. Dan saat ini siklusnya sedang jelek. Mengapa begitu? Karena bahan mentah sifatnya generik. Besi, timah, atau nikel kan dijual nggak pake merk. Jadi nilai tambahnya rendah.

Coba kita pikir: Apa pernah kita beli 1 ton Baja? Nggak pernah. Nggak berguna. Lalu yang kita beli? Mobil yang terbuat dari 1 ton baja. Nikel Indonesia harus bersaing dengan nikel Russia, Kanada, China, Australia, Botswana, Afrika Selatan, Madagaskar, dll. Maka tidak heran bila pasokan ekonomi global sedang melemah, yang terjadi harga nikel jeblok. Semua produsen rebutan membanjiri pasar.

Itu sebabnya harga bahan mentah sulit sekali stabil. Selalu terombang-ambing antara terlalu murah dan terlalu mahal secara ekstreme. Nah begitulah nasib ekspor Indonesia. Kalau harga komoditi lagi bagus, rupiah menguat - kalau harga lagi jelek - rupiah ikut sengsara.

Maka jelas Indonesia nggak bisa lagi sekadar bergantung pada ekspor bahan mentah. Kita cuma akan jadi bulan-bulanan harga dunia. Bila ingin ekonomi tetap maju walaupun nilai tukar rupiah sedang bagus atau jelek - maka Indonesia harus kembangkan manufaktur.

Bagaimana dengan ekspor pangan atau ikan?. Keduanya juga diproduksi negara lain dan sifatnya sama - saling membanjiri pasar saat ekonomi lemah. Strateginya harus diferensiasi. Indonesia masuk ke bisnis dengan nilai tambah lebih tinggi dan spesifik. Supaya dapat manfaat dari kurs. Tapi masuk ke manufaktur pun perlu modal kan? Apalagi infrastruktur masih bermasalah. Maka manufaktur terpaksa jadi opsi lanjutan. Lalu apa biang masalah melemahnya Rupiah dan bagaimana supaya ekonomi Indonesia stabil walau rupiah gonjang-ganjing? Nanti kita lanjutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar