Kamis, 13 November 2014

Agama Di Amerika & Eropa (1)


Agama di Amerika.

Sebagaimana lazimnya perkembangan agama di berbagai tempat di dunia, pertumbuhan agama di Amerika diwarnai oleh latar sejarah, geografi dan politik negara tersebut.

Sebelum kehadiran pendatang dari Eropa, ‘agama’ penduduk asli Indian bercorak non-monoteis, ditandai dengan upacara-upacara ritual-seremonial yang menyerupai keyakinan animisme.

Katolik Roma adalah agama pertama yang diperkenalkan oleh pendatang Eropa, khususnya Portugis, Spanyol dan Perancis. Selanjutnya para misionaris Protestan dari Inggris, Belanda, Jerman dan Swedia datang menyusul. Sejarawan sepakat bahwa datangnya agama Kristen Protestan adalah prakarsa sekte Anglikan dan Puritan, yang lantas diikuti sekte-sekte lain.

Banyaknya pendatang dan membajirnya imigran ke Amerika membuat komposisi demografis (termasuk keagamaan) berubah. Semula, para imigran datang ke Amerika lantaran motif ekonomi dan perbaikan nasib, namun ancaman terhadap agama yang telah ada, cukup merisaukan. Pasalnya, para pendatang mendirikan kantong-kantong baru untuk menghidupkan kembali warisan tradisi-budaya dan agama negeri asal mereka.

Jika ditelusuri ke belakang, mayoritas penduduk Amerika sepanjang sejarah merupakan penganut Kristen Protestan. Dapat dilukiskan, pada masa revolusi Amerika 1776, keterikatan Amerika dengan Protestan tak ubahnya kelekatan Islam dan Timur Tengah. Panganut Katolik pada masa itu tak lebih dari 2,5% total penduduk. Sedang penganut Yahudi tidak mencapai seribu orang.

Perubahan komposisi kependudukan pada abad 20 ternyata dibarengi dengan lahirnya komunitas-komunitas agama baru. Pertumbuhan yang paling menonjol di antara agama-agama baru tersebut adalah Yahudi. Urutan berikutnya diduduki oleh agama-agama yang dianut oleh pendatang-pendatang dari Cina dan sekitarnya; dan India.

Pada tahun 1970, J. Gordon Melton, editor Encyclopedia of American Religian menemukan sekitar 800 kelompok keagamaan, di mana sebagiannya merupakan sempalan dari agama-agama besar. Tahun 1994, ensiklopedi tersebut harus menambahkan 200 kelompok baru yang belum terdaftar dan perlu dimasukkan ke dalam entry baru mereka. Bahkan menurut Melton, jumlah terebut masih akan bertambah selama manusia diberi kebebasan untuk berinovasi.

Ternyata jauh sebelumnya, editor ensiklopedi tersebut sudah menyebut angka di atas 1000. Karena tidak kurang dari 1500 kelompok yang menautkan diri pada salah satu bentuk keagamaan, termasuk di antaranya beberapa asosiasi Atheistik.

Dengan tumbuh suburnya keagamaan yang bertebaran di negara ini, menjadikan Amerika sebagai satu-satunya mikrokosmos agama-agama dunia. Berbicara tentang keagamaan di Amerika, masyarakat sering dihadapkan pada sekian banyak paradoks. Pada satu sisi, Amerika diidetifikasi sebagai negara sekuler materialistik yang dikenal sebagai negara pertama dalam sejarah yang menetapkan undang-undang pemisahan antara Negara dan Agama.

Penetapan ini memberikan kesan seolah-olah agama tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Pada sisi lainnya, tidak jarang bangsa Amerika menganggap dirinya sebagai bangsa paling religius. Karena bagi mereka, pemisahan antara Agama dan Negara justru membuktikan bertapa besarnya peranan agama dalam perkembangan budaya bangsa. Sejarah juga mencatat bahwa tidak ada satu negarapun yang menghimpun aneka ragam agama dalam lingkup suatu bangsa seperti Amerika.

Paradoks lain dapat ditemukan dalam kehidupan sebagian besar pemuka agama di Amerika. Di satu sisi mereka sangat aktif dalam aktivitas sosial dan gerakan reformasi, tetapi di sisi lain mereka tidak henti-hentinya mengutarakan rasa khawatir kalau-kalau Gereja dan doktrinnya tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan para pengikutnya.

Dengan kata lain, sebagian pemuka agama telah tampil menjadi aktivis yang mempopulerkan dan membumikan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Namun sebaliknya fungsi gereja (menyelamatkan jiwa-jiwa yang labil) telah diambil alih oleh para psikiater, pekerja sosial dan bahkan paranormal.

Sampai di sini bahasan tentang Agama di Amerika. Masih ada pembahasan berikutnya. Salam.

Alwi Shihab
Intellectual Muslim Scholar in religious tolerance and pluralism, Temple Univ PhD & Ainshams Univ PhD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar