Jumat, 01 Mei 2015

Suara Hati

Didalam hati kita, didasar sanubari kita yang paling dalam, ada kekuatan yang sangat perkasa, sekaligus sumber kedamaian yang tiada tara. Disanalah bersemayam fitrah dan jati diri ketundukan kita –juga setiap manusia- kepada Allah swt. Setiap manusia sejak kali pertama ditakdirkan ada, telah diikat dengan kepatuhan kepada tauhid, mengesakan Allah Yang Maha Esa.

Allah swt berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS Al-A’raf:172).

Fitrah kemusliman atau ketundukan itu merupakan warna asli dari keseluruhan tabiat fisik dan psikis kita. Fitrah, yang dengannya manusia dititahkan, memberi kita sensor diri dan pelita penerang jalan. Dalam batasan kemanusiaan, petunjuk itu diberikan oleh suara hati nurani yang jujur.

Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah mengajarkan kepada seorang sahabat bagaimana cara sederhana menentukan sesuatu itu baik atau buruk: “istafti qalbaka”, mintalah fatwa kepada hatimu.

Atau dalam kesempatan yang lain ia mengatakan, bahwa barang siapa yang amal baiknya mambuat hatinya suka, dan amal buruknya membuat ia gelisah maka dia itu muslim.

Dalam banyak hal, semestinya orang bisa bertanya kepada hati nuraninya apakah sesuatu itu baik atau buruk. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui secara standard apa saja yang layak atau tidak untuk dijalani. Manusia punya ukuran kepatutan kemanusiaannya. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.” (QS Asy-Syam:8).

Karenanya, manusia bilapun tidak mengerti banyak tentang ajaran wahyu Allah, semestinya ia masih bisa mendengar secara tulus apa suara hati nuraninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar