Selasa, 23 April 2013

Minyak Bumi


Total produksi minyak nasional saat ini sekitar 900 ribu barrel. Banyak orang Indonesia tidak tahu produksi minyak dari ladang-ladang minyak Pertamina cuma 100 ribu barrel. Sisanya dari ladang non-Pertamina. Produksi minyak Medco di dalam negeri misalnya mencapai 60 ribu barrel/ hari. Rencananya produksi akan naik jadi 120 ribu mulai 2013. Bila itu terjadi & produksi di Cepu belum juga dimulai - maka dalam hal menambang minyak - Pertamina bahkan akan kalah dibanding Medco. Produsen minyak terbesar justru Chevron Pacific, sekitar 500 ribu barrel/ hari. Produsen gas terbesar adalah Total EP Indonesie.

Oil company dari luar itu yang memproduksi minyak untuk Indonesia. Mereka yang melakukan eksplorasi dan menambang, tentu wajar dapat bagian dari usaha mereka. Pertamina pun akan begitu di luar negeri.

Orang suka lupa bahwa bisnis minyak harus kuat modal. Risikonya tinggi. Kalau modalnya tidak kuat/ digerogoti - ya susah. Proses mendapatkan hidrocarbon panjang dan super mahal. Untuk bikin sumur explorasi/ wildcat butuh sewa rig. Rate sewanya harian. Tergantung dari jenis rig. Rig darat ratenya ribuan dollar/ hari. Rig offshore bisa ratusan ribu dollar. Itu baru eksplorasi, belum produksi. Empat tahun yang lalu sewa rig sempat $700rb/ hari. Dan itu juga belum tentu dapat. Utilisasinya hampir 100%.

Banyak yang tidak mengetahui bahwa Bank DILARANG membiayai ekplorasi minyak yang belum keluar dari tanah. Jadi semua penggalian harus modal sendiri. Uang yang ada di Bank kan milik masyarakat. Eksplorasi mahal dan banyak ketidak pastian - makanya tidak boleh pakai uang bank. Pemerintah akan ganti biaya ekplorasi cuma kalau sumurnya menghasilkan. Kalau sampai di bor tidak keluar minyak, perusahaan rugi jutaan dollar. Ditanggung sendiri.

UU Migas tidak mengurus soal kredit untuk ekplorasi, yang mengurus peruntukan dan kelayakan kredit adalah Bank Sentral. Bank boleh membiayai bila minyaknya sudah keluar dari tanah - semisal buat pengangkutan. Kalau eksplorasi jelas tidak boleh.

Bisnis Gas memang masih ada untung - tapi kalau tidak ada investasi baru, maka nasibnya akan segera menyusul bisnis minyak. Eksplorasi itu seperti main dadu. Perbandingan tingkat keberhasilannnya cuma 1:6. Sekarang katanya disebagian besar lokasi perbandingannya sudah meningkat menjadi 1:9 atau 1:10. Kalau bank ikut membiayai eksplorasi, maka tinggal tunggu waktu saja banknya kolaps. Mencari minyak tidak semudah mencari air. Bor (drill), belum tentu ada. Ternya dry hole. Atau fluida suka "lari". Kalaupun discovery, belum tentu ekonomis.

Itu sebabnya eksplorasi minyak masih menggunakan kontraktor "asing". Memerlukan jutaan dollar untuk eksplorasi, kalalau gagal menemukan minyak, ya urusan investor, negara tidak mengganti kerugian sepeserpun. Kalau minyak ketemu, baru semua diganti pemerintah dan dilakukan bagi hasil. Setelah produksi, fasilitas produksi menjadi milik negara, bukan punya si kontraktor asing.

Sumber minyak memang masih banyak - tapi di negeri orang. Atau minyaknya extra heavy seperti di Kanada. Minyak mentahnya kayak lumpur. Kanada punya cadangan tar-sand oil lebih banyak daripada cadangan minyak Arab Saudi. Tapi minyaknya kayak lumpur bercampur pasir.

Ciri khas industri perminyakan.adalah.high cost, high tech, and high risk. Dinegara kita tren eksplorasi makin ke timur, rata-rata offshore laut dalam. Cost eksplorasi 1 sumur sekitar $70 - $100 juta. Pernah ada yang sampai $180 juta, itupun dry. Sumur $180 juta hasilnya dry? Perusahaannya apa nggak semaput? Perusahaan Murphy Oil, mengebor 1 sumur di Blok Semai, daerah palung perairan Papua. Bukan semaput lagi, mereka langsung cabut dari Indonesia. Wajar saja, kalau 1 sumur sampai tekor $180 Juta, mereka harus ngebor berapa banyak supaya bisa balik modal. Kapan untungnya?

Tidak perlu jauh-jauh. Kasus Lapindo sudah membuktikan kejamnya risiko tambang minyak. Apalagi ditambah dengan kecerobohan. Ada teman yang cerita, Lapindo jadi bencana karena mereka tidak rela meninggalkan rig drilling. Begitu dicabut - yang keluar lumpur. Rig drilling memang mahal. Jutaan dollar. Tapi gara-gara lumpur yang keluar tidak habis-habis, ruginya trilyunan dan bertahun-tahun.

Mereka telat pasang casing, terjadi blow out. Harusnya langsung dihandle oleh rig. Tapi rig nya malah pergi karena kabarnya tidak diasuransikan. Asuransi lokal mana mau menjamin ekplorasi minyak. Kan lebih untung jualan asuransi jiwa, pendidikan, dll. Seorang teman lain mengatakan, mereka bukan cuma telat, tapi sengaja lanjut drilling untuk menghemat casing. Padahal SOP nya set casing dulu baru lanjut ngebor. Jadi ada SOP yang dilanggar. Kalau ini di expose bisa digolongkan human eror, bukan bencana nasional seperti statusnya sekarang. Akibatnya Bakrie bisa bangkrut buat bayar ganti rugi.

Ingat kasus Deep Water Horizon Teluk Mexico? BP sampai rugi milyaran dollar. Kebayang kalau Pertamina yang mengalami itu.

Seorang konsultan minyak saja dibayar $1000/ hari selama berbulan-bulan. Belum tentu ada hasil. Mengapa mahal? Karena orangnya tidak banyak, kerjanya di tempat terpencil, berurusan dengan mesin yang mahal dan risiko kerja tinggi. Belum lagi harus membangun fasilitas produksi yang investasinya ratusan juta dollar.

Itulah kenapa Pertamina belum berani drilling di deep water apalagi di timur Indonesia. Padahal minyak kita makin ke timur. Pertamina pernah hampir bikin negara bangkrut karena korupsi berjamaah, sehingga tidak boleh lagi pegang duit langsung, harus lewat Depkeu RI. Karena duitnya dipegang orang lain, insentif untuk ekplorasi jadi rendah. Modal juga cuma pas-pasan. SDM-nya pada pindah. Bisnis selalu mengikuti arah orang. Kalau SDM-nya pindah, maka bisnisnya pun ikut pindah ke tempat lain. Begitu juga di bisnis minyak.

Berita Pertamina nyaris bikin bangkrut Indonesia sangat terkenal di tahun 70-an. Untung karena perang di Timur Tengah, harga minyak naik dan Indonesia selamat. Dulu konsumsi BBM dalam negeri masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan produksi. Jadi Indonesia masih sangat diuntungkan oleh kenaikan harga minyak era tahun 70-an itu.

Dari 60 cekungan migas di Indonesia 39 diantaranya terletak di sebelah timur. Berarti ongkos akan semakin mahal. Eksplorasi onshore di papua, bukan hanya biaya operasi besar, tapi ada banyak biaya-biaya lain seperti "biaya pengganti harapan". Di papua terkenal dengan biaya pengganti yang tak wajar. Mau ngebor 1 sumur, pembebasan tidak sekedar membebaskan lahan. Bisa jadi disana ada pohon buah, nanti dihitung cost oleh warga. Kira-kira selama 50 tahun kedepan berbuah, nah, itu biaya yang harus diganti. Kalau di ekonomi itu namanya konsep Time Value of Money. Banyak yang tidak paham konsep itu biarpun sekolahnya sarjana.

Seorang teman yang kerja di BP bercerita bahwa BP pernah mengeluarkan dana 300 juta rupiah untuk pemindahan pohon keramat. Dibayarkan ke kepala suku. Kendaraaan operasional menabrak seekor babi, ganti ruginya 20 babi karena bisa jadi babi itu beranak banyak. Seringkali dihitung sesuai jumlah puting susu babi betina. Saya jadi ingat pengalaman masal lalu di Aceh ketika proyek PIM-1. Kalau tidak salah PIM masih membayar buah kelapa yang ada dikomplek perumahan PIM beberapa tahun kemudian. Karena katanya yang dulu dibayar baru ganti rugi pohonnya. Buah nya belum. Dan pohon itu masih berbuah sampai bertahun-tahun kemudian. Masih ingak kalau menabrak kambing dijalanan? Ganti ruginya dihitung sampai ke anak-cucu kambing tersebut. Dimana-mana ternyata sama saja.

3 komentar:

  1. sumur explorasi wild cat lebih ekonomis diserahkan ke investor asing....

    BalasHapus
  2. Pengalaman pahit pengeboran Lapindo...seandainya Lapindo ngebor di teluk mexico, habislah nasib pemegang saham dikejar tanggung jawab sampai tinggal baju di badan...kalau di indo bisa diatur "Bencana Alam"...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus