Senin, 08 April 2013

Dilema SBY


Karena teman-teman sudah mulai membahas tentang langkah kuda SBY dalam merebut kekuasaan di Partai Demokrat (PD), maka saya tergerak ingin melakukan analisa pribadi terhadap kemelut yang menimpa PD, tumbangnya Anas (AU) yang berujung pada KLB dan kesediaan SBY untuk menerima jabatan Ketua PD. Banyak pengamat dan analis di TV yang mempertanyakan, bahkan menentang kesediaan SBY menjadi Ketua Partai. Pak Ilyas menyebutnya “bagaikan memakai jubah yang kekecilan”. Tapi saya ingin menganalisanya dari sisi yang berbeda. Mencoba melihat dari luar kotak.

Saya rasa banyak pihak yang keliru menilai SBY. Sebagian malah “under estimate.” Banyak penilaian dipengaruhi pemberitaan televisi, yang seringkali dangkal, tidak akurat dan sarat kepentingan politik. Mari kita bahas, dimulai dengan menelusuri masa lalu SBY.

SBY merupakan lulusan terbaik angkatannya di Akabri. Setelah itu karir tentara ini menanjak dengan cepat dan di periode akhir pemerintah orde baru, SBY menjabat sebagai Kasospol ABRI. Jabatan kasospol adalah jabatan prestisius, strategis dan merupakan jenjang terakhir sebelum menjadi Kasad atau Pangab. SBY yang pernah mendapatkan pendidikan militer di West Point AS, dikenal sebagai seorang ahli strategi yang ulung. Posisi kasospol merupakan pengakuan Suharto atas kepiawaian SBY.

SBY yang bercita-cita menjadi Panglima ABRI terpaksa harus melupakan impiannya ketika pemerintahan orba tumbang. Tapi di era reformasi karir SBY tetap melaju dan memperoleh jabatan penting di era 3 presiden awal reformasi. SBY berpasangan dengan JK kemudian menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Banyak yang berpendapat bahwa JK lebih sebagai real president dibandingkan SBY. Tapi fakta berkata lain. Pada pilpres berikutnya, SBY malah mengalahkan JK, membuktikan bahwa SBY-lah presiden sesungguhnya dan JK hanya pelengkap. Kemenangan SBY mayoritas dalam satu putaran pilpres menunjukan penilaian sesungguhnya rakyat Indonesia pada figur ini.

SBY masih menjadi presiden hingga kini. Berbagai kritik di media massa yang santer ditujukan pada pemerintahannya tak menggoyahkan SBY. Kepemimpinan SBY malah mengantar negara kita menjadi salah satu negara dengan perekonomian terkuat didunia dan dihargai dimata internasional. Popularitas figur SBY, walau turun dari sebelumnya, hingga kini masih yang tertinggi diantara seluruh tokoh nasional.

Dari gambaran ringkas diatas, masihkah kita menganggap SBY sebagai tokoh yang hanya “beruntung” menjadi presiden? Seharusnya tidak. SBY sampai ke posisinya sekarang bukan semata karena nasib baik, tapi hasil dari kehebatan strategi dan kepiawaian bermanuver dalam meniti karir memenuhi ambisinya. Apa yang telah dicapai SBY bukan kebetulan, tapi semata-mata direncanakan (by design). Pribadi yang dipermukaan terlihat santun dengan tutur kata yang runtut dan teratur menyebabkan orang sering keliru menilai sosok yang satu ini.

2



Pada Kongres Partai Demokrat (PD) di Bandung, sebenarnya calon ketua PD yang diunggulkan SBY adalah pasangan Andi Malarangeng (AM) dan Adi Baskoro Yudhoyono (Ibas). Tapi demokratisasi yang ditumbuh-kembangkan sendiri oleh SBY di PD ternyata menjadi senjata makan tuan. Suasana demokrasi yang begitu kental terasa dalam kongres Bandung malah menggugurkan pasangan AM+Ibas di tahap awal dan mengantar kuda hitam Anas Urbaningrum (AU) menjadi ketua partai. Saya yakin SBY tentu kecewa, tapi tak diperlihatkannya didepan umum. Satu hal yang dipelajari dan dipahami SBY paska kongres bandung adalah bahwa dia tidak lagi mengontrol PD, partai yang di bidaninya sendiri.

Saya perkirakan hubungan SBY dan AU tidaklah mesra-mesra amat setelah itu. Ibarat api dalam sekam, SBY hanya menunggu momen yang tepat untuk kembali mengambil alih PD. Begitu pula AU yang menunggu saatnya berhadapan “head to head” dengan SBY. Peluang itu muncul ketika Nazarudin (Nazar), Bendahara PD, tersangkut masalah korupsi. Terjadi kepanikan sesaat ketika diketahui bahwa kasus Nazar kemungkinan akan melibatkan sang putera mahkota. Tapi berkat kepiawaian bermanuver, SBY akhirnya malah bisa menunggangi kasus ini untuk kembali menguasai PD. Nazar kemudian berbalik menyerang dan melibatkan AU dalam kasus korupsinya, terutama Hambalang, sementara AM dan Ibas nyaris tak terdengar keterlibatnnya. Padahal dari penuturan dan catatan keuangan Yulianis (Bendahara Permai Group, perusahaan Nazar), jelas siapa yang selayaknya disorot.

Tapi KPK yang mendapat dukungan masyarakat luas tidak mudah untuk di kendalikan. Perlahan tapi pasti penyelidikan KPK selalu kembali ke alur yang seharusnya. Nazar dan Angelina Sondakh sudah dinyatakan bersalah dan dihukum. Menyusul kemudian menpora AM ditetapkan sebagai tersangka. Kalau memang terlibat, tentu tak lama lagi penyelidikan KPK akan sampai juga pada sang putera mahkota. Keadaan menjadi genting dan diluar kendali. Nazar kabur (?) keluar negeri, tapi kemudian ditangkap karena mulai menyebut-nyebut nama yang terlarang. Sementara itu PD dibawah kepemimpinan AU tak bisa diandalkan untuk memberi dukungan, malah cenderung menggerogoti. Babak belur di hajar media lawan politik, popularitas PD menurun drastis. Sementara AU terus melakukan konsolidasi di internal partai untuk kepentingan sendiri. SBY mulai kuatir sedang menyaksikan AU, anak harimau yang tak diharapkan, membesar dan pada akhirnya menjadi terlalu sulit dikendalikan. Strategi pun disusun dan skenario baru pun digagas. AU harus dihentikan dan kendali PD harus kembali berada ditangan SBY.

3



Kini kita sampai pada pertanyaan: “Mengapa kendali terhadap PD begitu penting bagi SBY?”

Pertama. Sesuai agenda KPU, bulan April ini parpol peserta pemilu dijadwalkan menyampaikan daftar caleg masing-masing. Penyusunan daftar caleg ini sangat penting dan krusial karena menjadi ajang rebutan kader partai. Para petinggi partai akan saling berebut pengaruh untuk memastikan anggota kelompok atau faksi masing-masing berhasil masuk sebanyak-bayanknya kedalam daftar calon. SBY dan para “Sengkuni” mulai gelisah, kuatir AU berpengaruh terlalu besar dalam penyusunan daftar caleg. Dan harap dimaklumi, bahwa KPU hanya akan menerima daftar caleg yang diajukan oleh Ketua Umum Partai, bukan Ketua Majelis Tinggi atau Dewan Pembina. Sekalipun di internal partai kekuasaan kedua lembaga ini lebih tinggi dari Ketua Umum. Alarm bahaya-pun menyala. Tidak ada jalan lain, sebelum penyusunan daftar caleg di mulai, ketajaman pisau AU harus segera ditumpulkan.

Skenario “kudeta” pun diperbaharui. Sebelumnya sudah dimulai dengan tuduhan-tuduhan Nazar tentang keterlibatan AU dalam korupsi Hambalang. Lalu secara rutin beberapa petinggi PD (seperti Ruhut Sitompul, dll) juga sudah gencar menyerukan di media agar AU mundur dari jabatan Ketua PD. Skenario berikutnya berupa pengumuman hasil survey SMRC yang menyatakan bahwa popularitas PD merosot tajam (tinggal 8% dari sebelumnya >25%). Kemerosotan ini di tuding sebagai akibat tersanderanya PD dalam kasus korupsi AU. Lalu kelompok petinggi PD (para Sengkuni di Majelis Tinggi) meminta agar SBY mengambil langkah-langkah darurat penyelamatan partai. SBY yang “kebetulan” sedang melakukan kunjungan kerja keluar negeri menyempatkan diri berdoa sewaktu umroh di tanah suci, meminta petunjuk dan mohon penyelamatan PD.

Sepulang ketanah air, sebagai ketua Majelis Tinggi partai SBY langsung mengambil alih kendali PD sembari meminta AU untuk fokus menghadap kasus hukum yang dihadapinya (padahal waktu itu belum ada kasus hukum terhadap AU). Seluruh petinggi partai, termasuk AU, diharuskan menanda-tangani pakta integritas dan kesediaan mundur dari jabatan kalau berstatus tersangka. Tekanan bertambah dengan bocornya sprindik KPK yang menyatakan AU segera akan menjadi tersangka. Kasus kebocoran sprindik itu kini sedang diperiksa oleh Komite Etik KPK dan sepertinya tengah mengarah kepada keterlibatan Ketua KPK Abraham Samad sebagai pembocor.

Sepertinya seluruh kekuatan telah dikeluarkan, bidak-bidak catur sudah ditempatkan diposisi masing-masing, sehingga tak heran tidak lama kemudian putusan penetapan AU sebagai tersangka pun dikeluarkan KPK. Skak-mat! AU tak lagi punya pilihan kecuali berhenti sebagai Ketua PD. Kekuasaan dan kendali terhadap PD kini sudah kembali sepenuhnya beralih ketangan SBY. KLB Bali merupakan kecelakaan. Terpaksa dilakukan agar penanda-tanganan caleg yang diserahkan ke KPU tidak dipermasalahkan legal-formalnya dibelakang hari karena tidak ditanda-tangani oleh Ketua Partai hasil kongres.

Tak ada pilihan lain bagi SBY kecuali menjadikan dirinya sendiri sebagai Ketua PD. Membiarkan kader lain, Marzuki Alie atau “Sengkuni” lain misalnya, bisa seperti memelihara harimau lain yang akan menerkam dari belakang. Sesuai hasil KLB Bali, SBY kini telah menjadi Ketua PD, sekaligus Ketua Majelis Tinggi dan Dewan Penasihat. Kekuasaan paripurna. Dan tentu saja para Sengkuni, karena jasa-jasanya telah mendapat imbalan posisi yang sesuai.

Pak Nur Hidayat benar ketika mengatakan SBY tidak lagi “konsisten” dengan ucapan sebelumnya. Tapi bukankah di dunia politik hanya sikap “inkonsisten” yang “konsisten”?

4

Kedua. Kita mengetahui bahwa tak lama lagi masa jabatan SBY sebagai presiden akan berakhir dan tak lagi berpeluang maju sebagai capres pada pilpres 2014. Kurang dari 2 tahun lagi. SBY tentu sangat memahami bahwa peralihan kekuasaan di negeri ini jarang berjalan mulus dan seringkali melalui proses yang berdarah-darah. Sudah dimulai sejak zaman Ken Arok dulu. Dinegeri ini, seorang pemimpin yang sudah berakhir kekuasaannya dengan mudah dilupakan. Seringkali malah di hujat setelahnya. Menerima berbagai tuduhan atau diminta pertanggung-jawaban atas berbagai keputusan yang diambilnya ketika berkuasa. SBY tentu punya hutang yang harus dilunasi kelak. Kasus century misalnya, masih berpotensi digugat.

Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur adalah contoh mantan kepala negara yang tak lagi berdaya setelah mengakhiri tugas sebagai presiden. Tanpa dukungan partai sendiri yang tak lagi hirau pada idola masa lalunya, para mantan presiden tersebut harus berjuang sendiri untuk mengatasi persoalannya masing-masing. JK salah satu contoh lainnya. Berhenti sebagai wapres, JK keliru ketika melepas jabatan sebagai Ketua Golkar. Akibatnya kini JK tak lagi punya kekuatan politik yang memadai untuk mendukung dirinya sendiri. Mungkin itu sebabnya Megawati tak bersedia melepas jabatan Ketua PDIP ketika menjadi presiden. Hingga kini, Mega minimal masih mempunyai kekuatan politik yang disegani dinegeri ini. Bisa membayangkan posisi Mega sekarang kalau sewaktu menjadi presiden dulu beliau melepas jabatan Ketua PDIP? Mungkin hanya seorang nenek yang momong cucu. Mega tak peduli kalau kepemimpinannya di PDIP yang berkepanjangan itu telah membuat gerah sebagian kader dipartai itu, yang telah kehilangan peluang untuk aktualisasi diri. Lalu mengapa SBY harus peduli dengan karir kader muda partainya, partai yang tadinya didirikan hanya untuk kendaraan politiknya?

Sadar sepenuhnya akan situasi yang dihadapi para mantan pemimpin bangsa setelah tak lagi berkuasa, SBY mulai menyiapkan tempat berlabuh untuk dirinya sendiri kelak. Apalagi pilihannya kalau bukan Partai Demokrat. Walau tak lagi menjadi presiden, dengan tetap mengendalikan PD, SBY masih bisa berperan banyak dalam perjalanan kedepan bangsa ini. Masih akan dihormati dan diperhitungkan. Minimal masih ada partai dan pendukung partisan yang masih akan mengelu-elukan atau membelanya kalau diperlukan kelak. Apalagi dalam sistem politik kita saat ini, setiap pimpinan parpol skala mengengah-besar masih akan memiliki porsi kue kekuasaan, minimal dalam pemerintahan koalisi siapapun presidennya nanti. Selama sistem potilik negara kita belum berubah, pemerintah mendatang masih akan berupa pemerintahan koalisi multi partai yang akan tetap “banci” karena elitnya masih akan saling sandera seperti yang terjadi sekarang.

Jadi sekarang kita sudah lebih paham mengapa SBY begitu berambisi menguasai kembali PD. SBY tetap masih memerlukan kendaraan politik yang bisa dikendalikannya, sekarang sebagai presiden atau nanti setelah tak lagi berkuasa.

Kita adalah bangsa yang mudah melupakan pemimpin, punya karakter pendendam dan suka berpikir negatif. Sementara itu, disepanjang pemerintahan para presiden itu selain punya prestasi baik, mereka tentu juga tak luput dari keliruan. Ketika tak lagi berkuasa, semua prestasi baik akan mudah dilupakan dan kesalahannya akan menjadi topik bahasan berkepanjangan.

5



Sekarang kita sampai pada bagian terakhir serial analisis saya tentang langkah kuda SBY. Pertanyaannya masih diseputar itu: “Apakah ada alasan lain mengapa SBY akhirnya mengambil alih kekuasaan di PD?” Mari kita lanjutkan sedikit lagi.

Ketiga. Sumber masalah SBY lainnya adalah Nazarudin. Mantan Bendahara PD ini telah didaulat menjadi tokoh paling korup di negeri ini. Meninggalkan luka di PD yang masih akan berbekas sampai lama. Mungkin Nazar yang paling tepat mewakili figur Sengkuni di PD.

Dalam memuluskan proyek-proyek korupsinya, Nazar royal membagikan hadiah kepada seluruh petinggi yang terlibat, lintas partai. Ketika kongres Bandung, Nazar diperkirakan ikut membantu biaya kampanye hampir semua kandidat ketua partai yang bertarung saat itu. Siapapun yang terpilih sebagai ketua, Nazar memastikan sudah punya tiket digerbong pemenang. Kalau mempercayai apa yang dikatakan Yulianis, sepertinya sang pangeran mahkota-pun ikut kecipratan.

Mengapa Yulianis? Mengapa bukan Nazar yang dipercaya sebagai sumber informasinya? Karena Nazar punya kepentingan dan banyak berbohong. Besar kemungkinan sudah ada kesepakatan rahasia antara Nazar dengan para “Sengkuni” PD, sejak Nazar mulai alihkan tuduhan pada AU. Sebagai imbalannya Nazar tentu sudah memperoleh janji tertentu, masih misteri dan mungkin baru akan kita ketahui kelak, setelah pertunjukan usai dan layar diturunkan. Selalu ada kisah dibalik layar yang berisi kasak-kusuk para pelakon.

Untuk amannya dan agar sementara tak menjadi sasaran tembak, putera mahkota memutuskan mundur dari DPR. Saat ini yang bersangkutan masih menjabat sebagai Sekjen di PD. Hanya untuk sementara waktu, sampai selesainya proses pendaftaran daftar caleg ke KPU yang memerlukan tanda-tangan Ketua dan Sekjen partai. Setelah ini, konon kabarnya, sang putera mahkota berencana akan melanjutkan pendidikan S3 di AS. Untuk sementara menghilang dulu dari peredaran.

Skenario penyelamatan telah tersusun rapi dan proses eksekusi sudah mulai ditindak-lanjuti. Masihkah beranggapan SBY “lebay” dan Keliru ketika mengambil alih posisi Ketua PD? Atau sebenarnya semua itu langkah cerdik, strategis dan terencana baik? Langkah kuda yang cemerlang? Wallahualam bishawab. Jangan terlalu serius, ini kan hanya skenario rekaan saya saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar