Senin, 08 April 2013

Indonesia-Ku


Kasus "Hijrah"nya LION Air ke Malaysia mengingatkan saya akan "buruknya" service negara kepada Investor-investor lokal yang berniat membangun negeri ini. Kalau Airline itu Angkasa Pura, maka Shippingline Pelindo muaranya di Kemenhub.

Seorang teman ceritakan pengalaman saat menjadi Kepala Operasi salah satu perusahaan Pelayaran Nasional saat hendak ekspansi ke berbagai daerah.

Pengiriman barang via kontainer ke berbagai pelosok daerah di Indonesia tentunya akan menguntungkan peningkatan daya saing ekonomi. Jika distribusi barang lancar maka harga-harga barang kebutuhan jauh lebih murah dan produk asli didaerah tersebut bisa dijual kedaerah lain.

Apakah semudah itu pelayaran/penerbangan bisa memasuki daerah-daerah diseluruh Indonesia?. Sangat teramat sulit jawabnya. Banyak perijinan. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, seorang Kepala daerah (bupati) bisa dengan seenak udelnya mengusir pelayaran/penerbangan yang tidak mau 86. Saya ingat kasus mau dibakarnya kapal pelayaran “Mentari” diKabupaten Merauke karena sang Bupati tidak setuju (larena sudah punya saham di perusahaan pelayaran lain).

Tidak heran saat mau membuka jalur baru maka harus kita siapkan tumpukan uang bermilyar-milyar untuk sekedar direstui oleh pejabat berwenang. Apabila selesai dengan bupati, maka cengkraman selanjutnya menunggu mulai dari otoritas pelabuhan (pelindo, adpel), Dishub, dll.

Tidak heran Biaya Logistik di Indonesia termasuk yang "termahal" diseluruh dunia, karena pengusaha membebankan biaya 86 ini ke tarifnya. Biaya pengiriman kontainer dari Jakarta ke Palembang, Surabaya, Medan, Pontianak bisa 2-4x lipat jika ke Singapura. Aneh kan? Begitu juga dengan Penerbangan rute-rute jarak lebih dekat dibandingkan ke Singapura kenapa bisa lebih mahal? Ada biaya monyetnya, Padahal base rate mengkalkulasi tarif pelayaran/ penerbangan dasarnya adalah jarak tempuh ,iles + overhead cost. Anomali tarif RI.

Saat saya ke Tarakan untuk buka rute baru kondisi tarif container reefer Tarakan-Surabaya seharga 23 juta/ teus = rute Jakarta – Amsterdam. Inilah dampak dari pemerasan-pemerasan penguasa pelayaran dan penerbangan yang sebabkan ekonomi biaya tinggi untuk rakyat.

Jadi tidak heran jika banyak pengusaha-pengusaha lokal yang sering putus asa dengan sikap penguasa setelah era reformasi. Tidak heran jka Lion mau hengkang. Para pengusaha lokal selalu membandingkan perlakuan pemerintah RI dengan tetangga seperti Singapura, Malaysia yang sangat respek.

Pengalaman saat ke Singapura dimana kami bertemu dengan pengelola pelabuhannya (PSA) mereka beri "karpet merah" untuk pengusaha Indonesia. Management PSA (pelindonya Singapura) diisi oleh professional. Bukan PNS seperti di RI. Sangat membantu, ramah melayani kami. Kami dijamu dengan makan-makan enak, dilayani layaknya raja, diberikan oleh-oleh.

Berbanding terbalik dengan pelayanan di Indonesia. Pelayanan perijinan satu atap di PSA untuk buka rute baru ke Singapura hanya membutuhkan waktu 1x24 jam (tidak pakai bupati-bupatian). Tidak ada uang sogokan ke mereka. Bahkan uuntuk membuat kita semangat PSA menjanjikan rabat tarif jika bisa mencapai volume tertentu. Inilah yang membuat para pengusaha pelayaran dan penerbangan tidak menambahkan biaya-biaya siluman ke tarif mereka (jadi lebih murah).

Fakta-fakta seperti ini yang dijadikan dasar pembanding para pengusaha di Indonesia untuk segera "hengkang" dari negeri pemalak ini.

Saat Indofood memindahkan HQ mereka ke Singapura, pemerintah masih tidak sadar-sadar akan keadaan birokrasi negeri ini. Lalu apakah keberadaan KPK menolong? Saat ini masih jauh untuk memberantas pemalakan-pemalakan kepada pengusaha seperti kasus Lion. Pengusaha serba salah tidak "memberi" tidak diijinkan, jika "memberi" bisa di Hartati Murdaya kan. Maka kabur dijadikan jawabannya.

Pemalakan kepada pengusaha terbagi dua : Pungli dan Resmi (seperti kasus Lion minta 51% saham). Namun tetap saja yang resmi ujungnya ada pungli juga. Bukannya saya menyetujui langkah Lion untuk hengkang ke Malaysia karena ini bukan faktor nasionalisme buta. Tapi ini bentuk corporate survival. Pemerintah tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu. Sudah banyak pengusaha-pengusaha yang hengkang dari negeri ini karena tersiksa.

Dan kedepannya nanti di Indonesia hanya ada pengusaha-pengusaha tukang jahit saja. Indonesia menjadi negeri outlet belaka. Surga untuk menjual produk pengusaha lokal yang berkantor di luar negeri. Tragis. This is a true story about our country.

Pantesan saya beli tiket Lion Jakarta-Denpasar kok 3x lipat harga Jakarta-KL. Ujung-ujungnya pungli tokh. CMA CGM, top 5 bisnis container dunia batal bikin container port di Batam karena hal-hal seperti ini. Port Klang lebih gampang. Indonesia-ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar