Selasa, 14 April 2015

Hukum Memakan Daging Disembelih Tanpa Basmalah


Apa Hukumnya Memakan Daging yang Tidak Disembelih dengan Menyebut Nama Allah?

Tanya:

Benarkah seorang Muslim hanya diperkenankan makan daging sembelihan yang ketika disembelih dibaca basmalah?

Jawab:

QS. al-An’am [6]: 121 menegaskan, Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Atas dasar ayat ini, sejumlah ulama menilai haram memakan binatang walau halal dan disembelih seorang Muslim bila ketika menyembelihnya tidak dibacakan basmalah, baik meninggalkannya dengan sengaja maupun lupa. Ini adalah pendapat sahabat Nabi saw., Abdullah ibnu Umar, juga pakar hukum, Dawud az-Zhahira, serta pendapat Imam Malik dan Ahmad ibnu Hanbal menurut satu riwayat.

Ulama lain menilai ayat di atas sebagai anjuran bukan syarat sah sembelihan. Pendapat ini dikemukakan oleh sahabat Nabi saw., Ibnu Abbas dan Abu Hurairah. Ia juga merupakan pandangan Imam Syafii. Sebagaimana ada riwayat yang menyatakan bahwa Imam Malik dan Ahmad juga berpendapat demikian, berbeda dengan riwayat terdahulu. Pendapat ini menyatakan bahwa ayat di atas berbicara dalam konteks sembelihan yang disembelih sebagai sesaji atau untuk dipersembahkan pada patung-patung sebagaimana dilakukan oleh kaum musyrik pada masa turunnya ayat ini.

Mereka juga menguatkan pendapat ini dengan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, Apabila seorang Muslim menyembelih dan dia tidak menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya), maka hendaklah dia memakannya karena dalam diri Muslim (sudah) ada nama dari nama-nama Allah. (HR. ad-Daru Quthni melalui IbnuAbbas). Mereka juga menambahkan bahwa Allah membolehkan Muslim makan sembelihan Ahl al-Kitab padahal mereka menyembelih binatang tanpa membaca basmalah.

Pendapat ketiga adalah pendapat pakar hukum Abu Hanifah, yang juga populer di kalangan mazhab Ahmad. Pendapatnya, yaitu jika dengan sengaja tidak diucapkan basmalah, sembelihan tersebut haram, tetapi jika lupa, ia ditoleransi karena Allah swt. tidak menuntut tanggung jawab dari orang yang keliru, lupa, dan terpaksa.

Perlu juga diketahui bahwa mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan Asia Tenggara menganut mazhab Syafii. Oleh karena itu, jika Anda ajukan pertanyaan Anda tadi kepada penganut mazhab Syafii atau yang mendukung pendapatnya, Anda akan dijawab dengan, itu tidak benar. Akan tetapi, jika Anda ingin sedikit lebih berhati-hati dalam beragama, pendapat Abu Hanifah dalam konteks sembelihan adalah pendapat yang lebih aman. Demikian, wallahu a’lam.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]

Takfir


Takfir adalah istilah Arab yang artinya mengkafirkan. Yakni, menganggap orang lain yang biasanya memiliki pendapat berbeda sebagai kafir.

Takfir adalah fenomena keagamaan yang sekarang marak di beberapa kalangan umat Islam. Bukan kebetulan jika fenomena ini marak berbarengan dengan gejala lain yang muncul di dunia Islam sejak keberhasilan “revolusi Islam” di Iran pada 1979, yaitu apa yang sering disebut sebagai kebangkitan Islam, Islamic resurgence/revival. Dalam bahasa Arab sering disebut sebagai al-shahwa al-Islamiyya.

Gejala ini tak khas Indonesia, sebaliknya merupakan gejala yang luas kita temukan di hampir semua negeri Muslim, entah di kawasan Arab atau luar Arab. Gejala pengkafiran di Indonesia sebetulnya merupakan imbas dari gejala serupa yang sudah berlangsung terlebih dahulu di luar.

Gejala takfir sebetulnya mencerminkan sebuah pertarungan internal dalam tubuh umat Islam. Sebagaimana kita tahu, meskipun pada pokok-pokok keyakinannya, umat Islam kurang lebih bersatu, tetapi dalam masalah-masalah yang bersifat cabang atau ranting, termasuk dalam cara menafsirkan pokok-pokok keyakinan (aqida), mereka sebetulnya berbeda-beda sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Pandangan sebagian kalangan Islam saat ini yang mengatakan bahwa Islam hanya satu, yaitu Islam sebagaimana diajarkan oleh Quran dan sunnah, bisa benar, tetapi juga tidak seluruhnya benar.

Benar, karena memang Islam pada dasarnya memang satu, yakni Islam seperti diajarkan oleh Nabi Muhammad dantertuang dalam dua teks utama, yaitu Quran dan sunnah. Tetapi, sebagaimana layaknya setiap teks, dua teks utama dalam Islam itu dipahami secara berbeda-beda oleh banyak kalangan dalam Islam sendiri. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam sejarah Islam yang panjang itu kita jumpai berbagai bentuk sekte (firqah) atau mazhab (school of thought).

Ya, benar, Islam memang satu, tetapi manifestasinya dalam sejarah yang kongkret bisa bermacam-macam. Sementara itu, keragaman tersebut pada akhirnya juga bermuara pada mata air yang sama. Kalau boleh dibuat semacam analogi, Islam adalah seperti mata air besar yang menimbulkan berbagai aliran air atau sungai kecil yang begitu banyak. Mata airnya Islam memang satu, tetapi mata air yang satu itu melahirkan sungai-sungai kecil yang banyak. Sebaliknya, sungai-sungai itu memang banyak, tetapi pada akhirnya bermuara pada mata air yang sama. Kalau anda mau, boleh juga memakai istilah yang sudah populer, unity in diversity, kesatuan dalam keragaman; atau diversity in unity, keragaman dalam kesatuan.

Keragaman internal dalam tubuh umat Islam itu, sebagaimana kita lihat dalam sejarahnya yang panjang, kadang menimbulkan pertengkaran di dalam “rumah” umat Islam sendiri. Satu golongan merasa bahwa pemahamannyalah yang paling benar, sementara pemahaman golongan lain adalah sesat. Dalam beberapa kasus, golongan yang satu bisa saja menganggap bahwa golongan yang lain itu bukan saja sesat, tetapi juga kafir. Masing-masing golongan membawa semacam truth claim, atau kleim tentang kebenaran. Kleim inilah yang menjadi dasar bagi golongan tertentu untuk menyesatkan atau mengkafirkan golongan yang lain.

Sejak munculnya fenomena kebangkitan Islam pada 1979, kecenderungan mengkafirkan tampaknya memang makin marak. Ini jelas tak terlepas dari persaingan antar golongan dalam Islam sendiri untuk memperebutkan semacam otoritas yang dianggap mewakili kebenaran Islam yang mutlak. Jika suatu golongan mengkleim bahwa dirinya benar, atau paling benar dan sesuai dengan Islam yang “murni”, maka dia akan berhak pula atas otoritas kepemimpinan dalam tubuh umat Islam sendiri. Kelompok yang dianggap sesat tak memiliki hak atas otoritas itu. Bukan saja tak berhak atas suatu otoritas, bahkan golongan yang sesat itu bisa dianggap tak berhak atas eksistensi apapun. Dia harus diberangus, atau disingkirkan dan dikeluarkan dari dalam tubuh umat Islam. Kita boleh menyebut ini sebagai semacam ostrasisme teologis.

Fenomena takfir, menurut saya, juga tak bisa dilepaskan dari mentalitas yang sekarang berkembang dalam beberapa kalangan dalam Islam, yaitu mentalitas defensif karena merasa diserang oleh musuh-musuh dari luar Islam (siege mentality atau mentality of being sieged). Setelah kemenangan Revolusi Iran yang kemudian memarakkan gejala kebangkitan Islam itu, diskursus tentang “perang” memang menonjol. Beberapa golongan dalam Islam memandang bahwa dunia Islam berada di bawah ancaman ínvasi pemikiran atau al-ghazw al-fikri. Untuk menghadapi serangan dari luar itulah, beberapa kalangan dalam Islam mengembangkan mekanisme pertahanan diri dengan cara menciptakan benteng internal yang kokoh. Benteng yang kokoh itu tiada lain adalah pemahaman Islam yang semurni-murninya sebagaimana tertuang dalam Quran dan sunnah. Di sinilah muncul diskursus lain yang juga populer sejak dekade 70an, yakni diskursus tentang otentisitas atau keaslian. Hanya dengan cara kembali kepada bentuk Islam yang murni itilah ancaman dari luar itu bisa ditangkal dan dikalahkan.

Hanya saja, apa yang “murni” itu pada akhirnya haruslah ditaruh di antara dua tanda kutip, sebab yang murni dan benar menurut golongan yang satu belum tentu demikian menurut golongan yang lain. Kita akhirnya menyaksikan “perang kleim kemurnian” (harb al-ashala, war of authenticity claims). Pihak yang merasa paling murni akan cenderung menganggap golongan yang lain tak murni, kadang sesat, kadang lebih jauh lagi: kafir.

Demikianlah, gejala takfir dalam era modern ini memang tak bisa dipisahkan dari dinamika internal dalam tubuh umat Islam yang mengalami perubahan-perubahan cepat sejak dekade 70an hingga sekarang. Untuk sebagian, fenomena ini merupakan cerminan dari upaya pertahanan diri menghadapi serangan yang “dibayangkan” datang dari luar. Untuk sebagian yang lain lagi, gejala ini juga resultante saja dari persaingan dalam tubuh umat untuk memperebutkan otoritas dan kepemimpinan.

Sementara itu, tak boleh dilupakan pula bahwa gejala takfir ini tak bisa dilepaskan dari situasi ekstrim yang ada di sejumlah negeri-negeri Muslim. Hingga munculnya Revolusi Melati (Jasmine Revolution) yang bergejolak di sejumlah negeri-negeri Arab akhir-akhir ini, sebagian besar negeri-negeri Muslim diperintah oleh penguasa-penguasa otokrat yang otoriter dan bengis. Mereka dengan mudah memberangus oposisi di dalam negeri dengan cara-cara yang brutal. Keadaan domestik yang ekstrim ini akhirnya membangkitkan respon yang ekstrim pula dari golongan-golongan tertentu dalam umat Islam. Respon yang ekstrim itu antara lain dalam bentuk radikalisme agama yang kemudian juga merangsang munculnya gejala pengkafiran tersebut. Saya berpandangan bahwa demokratisasi di negeri-negeri, dalam jangka panjang, akan meminimalisir gejala pengkafiran ini, meskipun menghapuskan gejala ini secara total tentu hanyalah mimpi belaka.

Tak boleh juga diabaikan bahwa frustrasi masyarakat luas terhadap pemerintah yang korup di negeri-negeri Muslim juga potensial menjadi bumi subur untuk berkecambahnya radikalisme agama yang kemudian melahirkan gejala pengkafiran ini. Tanpa ada perbaikan pada kehidupan masyarakat luas, jelas ancaman pengkafiran ini akan muncul terus-menerus. Sebab, gejala pengkafiran ini, hingga tingkat tertentu, bisa kita pandang sebagai cerminan dari kekecewaan masyarakat atas dystopia, keadaan dalam masyarakat yang membuat frustrasi banyak kalangan. Takfir adalah semacam utopia atau tempat indah sebagai pelarian atau bahkan resistensi terhadap situasi sehari-hari yang begitu buruk dan menjengkelkan.

Sudah tentu gejala takfir ini adalah semacam penyakit sosial yang harus diatasi pelan-pelan. Gejala ini mempunyai potensi destabilisasi, baik dalam tubuh umat Islam sendiri atau dalam masyarakat secara luas. Takfir jelas merupakan gejala sosial yang memecah belah (divisive). Tetapi gejala ini tak bisa kita pandang semata-mata sebagai penyakit paa dirinya sendiri, sebaliknya merupakan simtom dari penyakit yang lebih luas dalam masyarakat: kemiskinan, otoritarianisme politik, kekuasaan yang korup, frustrasi atas keadaan global yang tak adil, dsb.

Sementara itu, faktor internal dalam tubuh umat Islam sendiri juga tak boleh kita lupakan. Sebagaimana saya sudah sebut di atas, gejala ini mencerminkan persaingan dalam tubuh umat sendiri. Persaingan ini jelas mempunyai potensi memecah belah umat jika berlangsung secara kurang terkontrol. Solusi terbaik, dalam pandangan saya, adalah mengembangkan pola otoritas dalam umat yang tidak bersifat otoriter dan monopolisitik. Otoritas yang lebih demokratis sangat diperlukan untuk mengatasi keadaan ini. Demokratisasi otoritas ini mempunyai konsekwensi yang penting: yaitu relativisasi atas kleim kebenaran dan otentisitas yang selama ini menjadi sumber pertengkaran dalam tubuh umat Islam. Ini menyangkut tantangan yang lebih mendasar lagi: yaitu mengembangkan kultur demokratis dalam tubuh umat, terutama berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam isu-isu keagamaan. Gejala takfir muncul karena kultur yang berkembang dalam umat adalah kultur otoritarianisme yang cenderung memandang bahwa kebenaran dan keaslian bisa dimonopoli oleh satu kelompok dengan mengeluarkan kelompok lain yang dianggap “menyimpang”.

Dalam jangka panjang, saya cukup percaya diri untuk berharap bahwa gejala ini akan makin berkurang. Jangan dilupakan, bahwa munculnya teknologi komunikasi baru, seperti media sosial (Twitter, Facebook, dsb) memaksakan suatu perubahan yang tak bisa dihindarkan oleh masyarakat, termasuk oleh masyarakat Islam sendiri: yaitu demokratisasi informasi, dan pada gilirannya yang lebih kemudian, juga demokratisasi otoritas serta sumber-sumbernya.

Jika kekuasaan politik yang otoriter seperti di negeri-negeri Timur Tengah bisa ditumbangkan oleh media sosial seperti Facebook dan Twitter, maka kekuasaan keagamaan yang monopolistik dan otoriter tentu akan menjumpai nasib serupa. Demokratisasi otoritas politik dan keagamaan merupakan dua perkembangan yang jelas tak terhindarkan.

Islam & Demokrasi

Recep Tayyip Erdogan: "Saya menerima pandangan bahwa budaya Islam dan demokrasi bisa hidup bersama dalam harmoni."

Biasanya politik Islam diasosiasikan sebagai memandang demokrasi bukan sesuatu yang afdol, tapi sebagai alat atau taktik untuk mencapai kekuasaan. Namun pemimpin Islam yang demokrat dan moderat cari jalan untuk mengubah relasi Islam dan Demokrasi. Mereka melihat Islam dan Demokrasi itu compatible.

Harmoni Islam dan Demokrasi bisa menjadi benteng pertahanan yang efektif terhadap radikalisme dan fundamentalism. Harmoni Islam dan demokrasi menawarkan jalan tengah dan moderat dalam kehidupan politik di negara-negara yang mayoritasnya Muslim. Demokrasi memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya faham Islam konservatif maupun radikal, sepanjang mereka menggunakan cara-cara damai.

*Recep Tayyip Erdoğan adalah Perdana Menteri Turki sejak 14 Maret 2003 sampai 28 Agustus 2014. Ia juga seorang pimpinan Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP, atau Partai Keadilan dan Pembangunan). Pada tahun 2010, Erdogan terpilih sebagai muslim paling berpengaruh di dunia.

Janganlah Menunggu Hari Istimewa

Janganlah menunggu hari istimewa...baru memakai barang yang bagus.

Kepala Rumah Sakit LinBingWen meninggal dunia karena infeksi pada usia 61tahun. Kematiannya yang tiba-tiba mengagetkan rekan-rekan medis, dia boleh dibilang masih cukup muda.

Kehidupan sungguh amat rentan, hidup mati adalah kehendak yang di atas tidak bisa dicegah, bahkan Steve Job (Apple) menghadapi sakit dan mati juga tidak berdaya.

Beberapa tahun yang lalu, seorang istri teman baru saja meninggal. Dia bilang: "Ketika aku sedang beres-beres barang-barang istriku, kutemukan sebuah scharf sutera, yang kami beli di sebuah toko mewah di NewYork dalam suatu tour kami."

Itu adalah sebuah scarf yang cantik, anggun dan bermerk. Bahkan harganya masih tertera di sana, istrinya terlalu sayang untuk memakainya, dia selalu menunggu suatu hari yang istimewa untuk memakainya."

Sampai di sini, dia diam, dan sebentar melanjutkan: "Sudahlah. Jangan menunggu hari yang istimewa, baru memakai barangmu yang bagus. Setiap hari dalam kehidupanmu adalah istimewa"

Kini, setiap teringat akan kata-kata itu, aku akan meletakkan tugas-tugasku, cari bacaan ringan atau memutar music-musik indah, berbaring santai di sofa, menikmati waktu yang benar-benar milikku.

Aku akan menikmati air sungai yang tampak dari jendela rumahku, tanpa peduli adanya debu di kaca jendela, aku akan mengajak orang-orang di rumah makan di luar.

Kehidupan seharusnya adalah perjalanan pengalaman-pengalaman yang mesti disayang/dinikmati, dan bukannya hari-hari yg pahit/susah hanya untuk mempertahankan hari-hari yang telah lewat.

Aku pernah berbagi perbincangan ini dengan seorang wanita. Dan ketika bertemu lagi dengan dia, dia bilang bahwa sekarang dia sudah tidak seperti dulu lagi, menyimpan gelas-gelas keramiknya di dalam lemari anggurnya.

Dulu dia mengira akan menggunakannya pada hari yang istimewa, akhirnya dia menyadari hari itu tidak pernah datang.

"Kelak/nanti", "Suatu saat nanti" sudah tidak ada lagi di kamusnya. Kalau ada hal yang menggembirakan, kalau ada hal yang memuaskan, dia akan berusaha mengalaminya sekarang dan mendengarkannya segera.

Kita sering ingin berkumpul dengan teman-teman, tapi selalu berdalih "cari kesempatan". Kita sering ingin memeluk anak-anak yang mulai besar, tapi selalu menunggu kesempatan yang tepat.

Kita mungkin ingin menulis sesuatu buat belahan jiwa, betapa kita menyayanginya, betapa kita mengaguminya, tetapi selalu bilang dengan diri sendiri tidak buru-buru.

Sebenarnya setiap pagi kita membuka mata, ini adalah hari yang istimewa. Setiap hari, setiap menit adalah sangat berharga.

1. Janganlah selalu bekerja dalam kondisi tertekan, akan merusak/melelahkan diri !

2. Jangan lupa bahwa tubuh kita adalah segalanya, bila tidak sehat, tidak akan bisa menikmati semua kenikmatan dan keindahan kehidupan ini.

3. Jangan berpikir bahwa yang bisa menolong hidupmu adalah dokter, sebetulnya adalah dirimu sendiri, menjaga kesehatan adalah lebih penting daripada menyelamatkan nyawa.

4. Jangan berpikir bahwa setiap pemberian selalu harus ada imbalannya; sebenarnya hanya karena tidak mengharapkan imbalan, maka akan beroleh imbalan yang baik.

5. Jangan meremehkan orang-orang yang berjodoh denganmu, karena ketika masa-masa itu lewat, barulah menyadari betapa kesempatan itu sulit sekali dijumpai.

Bekerjalah dengan wajar dan alamiah! Pelan-pelan menikmati perjalanan kehidupan, nikmati setiap hari dari kehidupan ini dengan gembira! Setelah melihat tulisan pendek ini, berbagikan buat keluarga dan teman-temanmu! Mungkin kamu bisa mengubah banyak orang.

Perbandingan Antara Sufisme dan Taoisme


Buku yang menarik: Sufism & Taoism – A Comparative Study of Key Philosophical Concepts by Toshihiko Izutsu. Perbandingan antara sufisme Ibn 'Arabi dan Taoisme.

Titik temu antara agama-agama lebih mudah ditemukan pada tradisi mistik/sufisme masing-masing agama. Kenapa demikian? Karena sufisme atau mistik bisa dianggap sebagai saripati semua agama.

Inti mistisisme/tasawwuf ada pada tiga konsep utama: takhalli, tajalli, tahalli.

- Takhalli (تخلى) intinya adalah membersihkan diri dari dorongan2 primitif yang destruktif pada manusia. Pembersihan diri (تهذيب النفوس).

- Tajalli (تجلى) adalah suatu keadaan spiritual di mana seseorang merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih. Suatu "revelation".

- Tahalli (تحلى) adalah tindakan "mimikri" atau peniruan terhadap Tuhan dengan cara menginternalisasi sifat2Nya. Intinya: akhlak yg baik, etika.

Teologi membedakan antara agama-agama. Mistisisme/tasawwuf menyatukan mereka. Kita butuh dua-duanya. Kita butuh dua hal sekaligus: perbedaan dan kesamaan, "la différence" dan "la ressemblance".

Menekankan perbedaan terus-menerus antar agama bisa menimbulkan konflik dan ketegangan sosial. Tidak sehat. Tetapi menekankan kesamaan secara berlebihan juga tidak baik, sebab akan menghilangkan identitas yang akan memperkaya keragaman. "Berbeda" dan "mencari kesamaan" sama pentingnya. Perbedaan memungkinkan dialog. Tapi dialog tak mungkin tanpa ada titik temu.

Ibn 'Arabi mungkin bisa dianggap sebagai puncak artikulasi spiritualitas dalam Islam. Membaca ide-idenya seperti menyelami inti agama. Dalam pemikiran Ibn 'Arabi, semua elemen dalam agama didudukkan secara proporsional: syariat, tarekat dan haqiqat. Ketiganya penting.

Ada tiga dasar penting dalam beragama dalam pandangan Ibn 'Arabi, yaitu Teks (Quran/hadis), akal dan intuisi. Dalam beragama, kata Ibn 'Arabi, jika tekanan berlebihan diletakkan pada akal, maka yang muncul adalah tanzih, mengosongkan Tuhan dalam abstraksi. Tuhan yang terlalu diabstraksikan melalui rasio tak akan menyentuh hati manusia, tak mempunyai daya gerak untuk melahirkan suatu praksis.

Sebaliknya, kata Ibn 'Arabi lagi, jika menekankan intuisi berlebihan, yang muncul adalah tasybih, atau materialisasi atas konsep Tuhan. Beragama yang seimbang, dalam pandangan Ibn 'Arabi, adalah kombinasi antara teks, akal dan intuisi.

Sayang sekali Ibn 'Arabi kurang diminati dalam kajian-kajian keislaman yang berkembang di masyarakat Islam saat ini. Andai gagasan Ibn 'Arabi dominan dalam pengajaran Islam sekagang, sudah pasti warna Islam akan beda: lebih spiritual dan damai. Solusi bagi dunia Islam sekarang ini bukan khilafah, tapi tasawwuf.

Seorang sufi adalah mereka yang digambarkan oleh Quran sebagai "tak memiliki rasa cemas dan ketakutan" (لا خوف عليهم ولا هم يحزنون). Problem besar pada manusia, terutama di era modern, adalah kecemasan, "anxiety", atau "angst" (خوف). Sumber-sumber kecemasan sangat banyak, bisa ekonomi, politik, keamanan, dll. Rasa cemas jelas destruktif, baik secara individual atau sosial. Solusi sufi atas kecemasan adalah satu: yaitu hidup yang "god-centered", hidup yang berorientasi pada tujuan final yang mutlak: Tuhan.

Masalah akut yang kita hadapi di dunia modern ini adalah: disorientasi, kehilangan arah karena gempuran "simulacra" dari segala arah. Simulacra (bentuk jamak dari "simulacrum") dalam pengertian sufi adalah "al-aghyar" (الاغيار) -- segala hal selain Tuhan. Secara harafiah, "simulacrum" adalah tiruan yang sudah kehilangan orisinalitas. Benda KW, istilahnya. Simulacrum-lah yang kerap membuat manusia mengalami alienasi dan disorientasi. Dari sanalah bermula kecemasan.

Pelajaran penting dari sufisme, antara lain, adalah kesadaran bukan saja tentang kesatuan manusia dan Tuhan, tetapi juga kesatuan wujud. Segala wujud di alam raya ini saling terkait satu dengan lainnya dalam "the union of being". Manusia, binatang, tumbuhan dan alam bersaudara. Tuhan hadir dalam segala wujud, entah wujud berkesadaran (the sentient being) atau yang tak berkesadaran.

Karena Tuhan ada di mana-mana, maka kita harus menghormati segala wujud. Kita tak boleh bertindak sembrono. Kita tak boleh memandang "yang lain" semata-mata sebagai obyek eksploitasi, sebab Tuhan hadir juga di dalam "yang lain" itu. Itulah inti dari cara pandang yang "god-centered". Kemanapun kita memandang, di situ ada Tuhan. (فاينما تولوا فثم وجه الله).

Ada yang bilang bahwa ajaran sufi terlalu elitis dan rumit buat orang awam. Keliru. Sama sekali keliru. Karakter asli bangsa Indonesia sebetulnya adalah spiritualistik. Sebab tradisi spriritualitas ada di semua daerah di Indonesia. Mengajarkan mistik/sufisme kepada masyarakat umum justru sangat gampang. Masalahnya, ada ketakutan pada tasawwuf sejak dulu.

Tasawwuf dianggap akan mengajak orang meninggalkan syariat atau jalan eksoterik. Ini anggapan keliru. Tasawwuf justru memperdalam pengertian orang beriman akan syariat. Dengan tasawwuf, seseorang menjalani syariat, bukan menyembah syariat.

Ada juga anggapan bahwa tasawwuf membuat orang meninggalkan dunia, sibuk dengan meditasi. Ini juga anggapan keliru. Tasawwuf bukan berarti "resignation", mengundurkan diri dari dunia, melainkan menceburkan diri di dunia tapi tetap "ingat Allah". Agama yang dipahami secara tidak sufistik bisa membuat bangsa Indonesia lupa jati dirinya.

Senin, 13 April 2015

Genom Monogami/ Poligami


Laki-laki menunjukkan kecenderungan perilaku yang bervariasi, spektrunnya ada di antara poligamis total sampai monogamis total. Variasinya banyak. Keragaman perilaku laki-laki tersebut dipengaruhi gen dan hormon. Ada satu gen yang menentukan jenis reseptor vasopresin di otak: gen monogami.

Tikus padang rumput yang punya gen monogami ternyata memiliki lebih banyak reseptor vasopresin ini dibandingkan dengan tikus gunung. Alhasil, tikus padang rumput lebih peka terhadap efek membentuk ikatan dengan pasangan tetap, yang ditimbulkan oleh vasopresin di otaknya. Dan ketika periset menyuntikkan gen monogami ke dalam otak tikus-tikus gunung, terjadi perubahan perilaku tikus-tikus doyan cewek itu dalam berpasangan. Setelah disuntik gen monogami, para tikus gunung jantan yang biasanya suka ganti-ganti pasangan berubah jadi “bapak rumahan” yang setia kepada pasangan.

Tikus-tikus jantan yang mempunyai gen reseptor vasopresin lebih panjang, memperlihatkan sifat lebih monogamis. Tikus-tikus jantan yang memiliki gen monogami ini menghabiskan lebih banyak waktu untuk merawat dan menjilati anak-anaknya. Tikus dengan gen monogami juga menunjukkan kesetiaan yang lebih tinggi terhadap pasangan, meskipun diberi kesempatan untuk lari dengan betina muda yang lebih genit. Pejantan dengan gen vasopresin terpanjang merupakan pasangan, juga bapak yang paling bisa diandalkan dan dipercaya.

Dalam genom manusia, gen vasopresin sedikitnya ada 17 variasi ukuran panjang. Lebih panjang gen ini kecenderungan untuk monogami makin tinggi. Jadi, seharusnya, perempuan lebih memperhatikan panjang gen vasopresin ini ketimbang panjang apa pun yang lain dalam hal cari pasangan…LOL.

Bisa jadi satu saat nanti akan dijual bebas suatu alat uji untuk mengetahui berapa panjang gen monogami seorang laki-laki. Layaknya tes kehamilan. Dengan demikian, seorang perempuan bisa yakin mendapatkan laki-laki cenderung monogamis, kalau memang perempuan tersebut menghendaki kehidupan monogami.

Jadi, kecenderungan monogami laki-laki pada batas tertentu sudah ditentukan sebelumnya dan bakat ini diturunkan secara genetis kepada generasi berikutnya. Sangat mungkin, para bapak yang penuh pengabdian dan para kekasih yang setia sudah terlahir begitu, bukan dibentuk oleh teladan dari orang tuanya.

Pada dua jenis spesies primata, simpanze dan bonobo, panjang gen monogami juga didapatkan berbeda. Sebanding dengan perilaku sosial mereka. Simpanze merupakan primata yang memiliki gen monogami lebih pendek. Mereka hidup dalam masyarakat patriakal yang suka menyerang kelompok tetangganya. Sebaliknya bonobo diatur oleh hirarki betina dan mengukuhkan setiap interaksi sosial dengan sedikit sentuhan seksual. Bonobo cinta damai. Sifat bonobo sangat sosial dan memiliki gen monogami yg panjang. Jenis gen monogami manusia lebih mirip dg gen bonobo ketimbang simpanze.

Jadi mayoritas spesies manusia membawa sifat genetik lebih cenderung untuk memilih monogami dan bersosial tinggi. Ya kecuali orang-orang tertentu. Orang-orang yang punya gen vasopresin lebih panjang, secara sosial akan lebih perduli ketimbang yang gen nya ini pendek. Pada manusia gen monogami ini didapati lebih pendek pada penyandang suatu kondisi cacat sosial yang berat, misalnya pada seorang psikopat.

Perbedaan perilaku berkomitmen kepada pasangan, sangat erat hubungannya dengan perbedaan dalam hormonal dan ukuran gen monogami kita masing-masing. Pada perempuan ada keadaan mendasar yang sangat berbeda. Para perempuan, pada umumnya hanya bisa mempunyai satu anak setiap sembilan bulan. Karena itu, perempuan cenderung ingin membentuk persekutuan yang setia dengan laki-laki yang akan membantu membesarkan anaknya tersebut.

Tapi pertentangan antar gen dan pertentangan antar hormon, membuat kehidupan nyata menjadi sangat rumit dan bervariasi. Jadi, walaupun bukan menjadi kecenderungan umum, kita sekarang juga mendapati bahwa perempuan juga bisa menghianati pasangannya. Contoh: saintis menemukan bahwa ada burung-burung betina dari spesies yang monogamis ‘berselingkuh’ untuk mendapatkan gen-gen terbaik bagi anak-anak mereka. Ahli-ahli evolusi sudah sejak lama menduga bahwa ‘selingkuh’ yang terjadi pada burung gereja dan ayam jantan seperti yang terjadi pada manusia.

Jadi, apakah manusia cenderung monogami atau poligami? Jawabannya tergantung seberapa panjang gen vasoprein masing-masing individu tersebut. Secara genetik, seperti bonobo, pada umumnya manusia cenderung monogami dan sosial, kalau ada yang poligamis dan asosial, itu perkecualian.